Oleh: Dahlan Iskan
PESAWAT kecil ini terbangnya rendah: 6000 ft. Jenis Twin Otter tipe baru: DHC-6 seri 400. Dua mesin. Isi 16 orang. Saya bisa melaporkan pandangan mata saya untuk Anda: apa saja yang saya lihat di bawah sana.
Itu kemarin siang. Pukul 13.15. Yakni setelah saya menghadiri wisuda ke-11 Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Nusantara Sangatta. Ini masalah pertemanan. Semacam KKN. Pemilik Nusantara teman semasa mahasiswa di Samarinda: sesama pendemo. Hanya beda kampus dan jurusan. Ia di perguruan terbaik Samarinda saat itu –sampai sekarang: Universitas Mulawarman. Jurusan ekonomi. Namanya: Amransyah Iskandar.
Sedang saya kuliah di jurusan paling mudah, yang kampusnya di sebuah rumah kayu yang di kolongnya sering dipakai kongkow biawak.
Begitu terbang, terlihat conveyor menjorok hampir 1 km ke laut. Di ujungnya sana bersandar kapal besar. Dari conveyor itu mengucur batu bara yang sudah dihancurkan menjadi butiran-butiran sebesar jagung. Itulah batu bara dari tambang terbesar di Asia –salah satu terbesar di dunia: milik KPC.
Conveyor itu sendiri panjangnya hanya 13,5 km. Tambang KPC memang tidak terlalu jauh masuk dari pantai. Secara ekonomi sangat menguntungkan: kalorinya tinggi, sulfurnya rendah, lokasinya dekat laut. Anda sudah tahu siapa yang kehujanan emas hitam itu.
Tidak jauh dari dermaga batu bara itu terlihat ada 12 kapal besar yang antre. Begitu kapal besar itu penuh, bisa langsung berangkat ke luar negeri. Ganti kapal besar lainnya yang bersandar ke dermaga.
Pesawat itu menuju selatan: menuju Balikpapan. Dermaga KPC pun segera terlihat di belakang. Yang tampak di depan dermaga lainnya. Juga menjorok ke tengah laut. Tidak ada kapal yang sandar. Sepi. Nyenyet. Tidak pula ada kegiatan apa-apa.
Itulah dermaga milik pemerintah. Sudah selesai dibangun tujuh tahun lalu. Masih nganggur. Jalan menuju pelabuhan itu masih kurang 1 km lagi. Sedang dikerjakan.
''Oh, ini proyek yang saya lihat tadi pagi. Dari atas justru kelihatan lebih jelas,'' kata saya dalam hati.
Jam 06.00 pagi-pagi saya memang minta diantar ke situ. Saya ingin tahu: mengapa pelabuhan itu lama sekali tidak beroperasi. Jalan dari kota Sangatta sudah dibangun. Konstruksinya beton. Jalan kembar. Panjangnya sekitar 15 km. Sudah jadi. Dari atas juga terlihat kelokannya. Tapi ada masalah tanah di ujungnya. Saya diantar sampai mentok di ujung jalan itu. Tidak bisa sampai dermaga. Sedang dicor.
Saya pun pindah arah: ke pelabuhan ikan. Pelabuhan lama. Lalu cepat-cepat balik ke kota: jadwal wisuda sudah tiba. Saya diminta pidato yang pertama.
Kalau pelabuhan sepi itu sudah beroperasi beban jalan poros Samarinda-Sangatta bisa lebih ringan. Barang-barang dari Surabaya/Balikpapan/Banjarmasin ke Sangatta bisa lewat
pelabuhan itu. Rakyat di sana selalu mengeluhkan jalan poros itu. Lebih sering berlubangnya daripada mulusnya.
Setelah pesawat melewati dermaga sunyi itu tidak ada lagi yang bisa dilaporkan ke Anda. Pantai kosong. Pantai berlumpur.