Kawan Lama

--

Ternyata PT AHI tetap kokoh tanpa Ace. Nilai perusahaan ini mencapai Rp13 triliun.

Sebenarnya saya diminta ke lantai delapan gedung itu. Seluruh lantai isinya barang-barang baru. Di lantai itulah diseleksi: barang baru mana yang akan dipilih untuk dijual di Azko. Seleksinya ketat. Jenis. Mutu. Harga. Dan mana yang akan paling laku. Selebihnya di-reject.

Saya tidak sempat ke lantai delapan. Harus buru-buru ke Bogor. Ada perayaan Cap Go Meh di sana. Dari Bogor balik Surabaya untuk membuka dan menutup turnamen golf Harian Disway. Dari lapangan golf Citraland itulah saya langsung ke bandara menuju Jeddah.

Seleksi barang baru seperti di lantai delapan itu mengingatkan Kuncoro ke masa kecilnya. Di sebuah rumah di Jalan Kokosan, Mangga Besar, Jakarta kota.

Sampai saat ini nama jalan itu masih sama. Hanya sebutan kampungnya yang berubah. Jalan Kokosan itu di masa lalu disebut kampung Tanki.

Di situlah Kuncoro, tiga kakaknya dan lima adiknya dilahirkan. Sembilan bersaudara. Rumah ayahnya itu punya halaman. Banyak pohon besar di halaman itu. Sang ayah juga memelihara kelinci, ayam, anjing, dan kura-kura. Kuncoro suka dengan binatang-binatang itu.

Di sebelah rumah ada pabrik penggergajian kayu jati: Botjiang. Lalu ada lapangan sepak bola milik klub UMS --United Make Strong. Di belakang rumah ada sungai dengan air yang jernih. Aneh, di Mangga Besar pernah ada pemandangan semenarik itu.

Wing Jin baru menikah di umur 38 tahun. Yakni setelah ekonominya mapan. Ia menikahi Tang Giok Liang yang berumur 18 tahun.

Di halaman itulah ayah Kuncoro melakukan seleksi atas alat-alat pertukangan yang akan dijual di tokonya. Produsen alat pertukangan datang ke rumah itu membawa produk seperti gergaji, palu, tatah, alat serut, obeng,  dan seterusnya. Kuncoro menyaksikan bagaimana ayahnya menyeleksi barang. Itulah "sekolah dagang" yang berharga baginya.

Ayah Kuncoro masih lahir di Tiongkok. Di Xin Hui, provinsi Guangdong. Namanya Wong Jin. Ketika merantau ke Hindia Belanda Wong Jin masih perjaka: 1930. Sudah pandai menjadi tukang kayu.

Dengan ketrampilan itu Wong Jin tidak sulit mendapat pekerjaan di Batavia. Belanda lagi memerlukan tukang kayu yang sangat pandai: untuk membangun interior kapal. Pekerjaan itu tidak bisa dilakukan oleh tukang kayu biasa.

Hasil kerja Wong Jin dipuji pemilik kapal. Wong Jin pun dapat uang banyak. Ia bisa beli rumah di Jalan Kokosan itu. Ia pun pindah dari rumah tinggal sementara milik yayasan suku Guangdong di Jakarta.

Persatuan orang Gungdong memang memiliki yayasan. Lengkap dengan gedungnya. Orang-orang sesuku yang baru tiba di Batavia ditampung di situ.

Kelak, ketika Wong Jin sudah mampu, ia menjadi pengurus yayasan itu. Dari ditolong menjadi ikut menolong.

Wong Jin juga punya modal untuk membuka toko. Yakni toko peralatan tukang kayu. Mengapa? Wong Jin mengalami sendiri betapa sulit mendapatkan alat pertukangan ketika mendapat pekerjaan interior kapal.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan