RAKYATBENTENG.BACAKORAN.CO - Masyarakat tengah dihebohkan dengan berbagai kasus pelanggaran hukum di tanah air yang terkuak dalam beberapa hari belakangan ini. Tak jarang persoalan hukum akhirnya ditangani aparat penegak hukum seusai kasus itu viral. Bahkan, tak sedikit pula masyarakat yang mengunggah persoalan hukum yang dihadapinya ke media sosial guna mendapat dukungan dari masyarakat luas dan memperjuangkan keadilan.
Senator Filep Wamafma menyeoroti fenomena tersebut melalui keterangan tertulis pada Kamis (23/5/2024). Menurut Filep, negara wajib menyediakan rasa keadilan bagi warga negara, bukan sebaliknya warga negara yang mencari keadilan sehingga negara terkesan abai dalam perlindungan terhadap masyarakatnya sendiri.
“Ada satu hal yang kini menjadi pandangan umum masyarakat bahwa penegakan hukum dan pencarian keadilan akan bisa dilaksanakan kalau kasusnya viral, terutama melalui media sosial. Di satu sisi kita bersyukur, artinya masyarakat kita melek hukum dan punya hati nurani hukum yang peka, tetapi di sisi lain saya harus menyatakan bahwa dalam hal ini pemerintah gagal mengayomi masyarakat, pemerintah gagal hadir dan menjadi pelindung masyarakat dan menyediakan rasa keadilan,” kata Filep.
BACA JUGA : https://rakyatbenteng.bacakoran.co/read/4435/diaspora-adalah-aset-bangsa-harus-diperlakukan-secara-baik
Filep lantas menyinggung sejumlah kasus seperti kasus-kasus terkait pelaksanaan tugas Bea Cukai, kasus-kasus asuransi yang berjalan di tempat, kasus-kasus pidana yang terungkap kembali seperti kasus Vina Cirebon. Kemudian, kasus pembunuhan yang sampai sekarang masih menjadi misteri misalnya pembunuhan Akseyna, mahasiswa UI, yang sampai 8 tahun belum terungkap. Selain itu, juga terkait kasus pertanahan masyarakat adat.
Menurut Filep, sederet persoalan ini membuat publik menilai bahwa masyarakat kecil sangat sulit mencari keadilan seandainya saja tidak viral. Pace Jas Merah ini pun memberi kritik tajam terhadap tugas negara sesuai amanat konstitusi.
“Sebagai contoh, saya ikuti kasus Rempang di Batam. Persoalan investasi yang berdampak pada perampasan wilayah Masyarakat Adat di Pulau Rempang,” ujar Filep.
Menurut Filep, masyarakat bahkan berhadapan dengan apparat atau Masyarakat Adat Rendu di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, tempat dibangunnya Bendungan Lambo.
“Proyek Bendungan Lambo ditengarai merampas perkebunan, ruang hidup, dan tempat bahan baku tenun alami masyarakat disana,” ujar Filep.
Tak hanya itu, Filep menambahkan catatan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menyatakan bahwa sekitar 2.578.073 hektare wilayah adat dirampas oleh negara dan korporasi. Hal ini bertentangan dengan amanat Konstitusi Pasal 18B dimana negara seharusnya menghormati eksistensi masyarakat adat.
Filep mengatakan konstitusi sudah mengaturnya supaya ada keadilan atau supaya masyarakat adat tidak bersusah payah mencari keadilan, karena seharusnya pemerintah yang menyediakan keadilan itu.
“Bila kita mencermati, persoalan pertanahan ini selalu berkait erat dengan pembangunan infrastruktur dan kini dengan Proyek Strategis Nasional (PSN). Ini harus menjadi bahan kajian dan evaluasi,” kata Filep.