POLKUM - Laporan dugaan pelanggaran Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan penggunaan Hak Angket DPR pasca putusan MK terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka mendampingi Prabowo Subianto dinilai ada pihak yang menunggangi.
Pakar hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Agus Riewanto mengatakan berbagai cara dilakukan agar Gibran tidak menjadi Cawapres melalui cara melaporkan KPU ke DKPP dan hak angket DPR.
"Menurut saya ini usaha para pihak yang mencari pintu untuk menggolkan keinginan, agar salah satu pasangannya tidak memenuhi syarat, sehingga tidak bisa menjadi salah satu capres/cawapres. Pintunya ada banyak kan, salah satunya ya DKPP. Mungkin bisa juga ke bawaslu, pengadilan, MA, dan lain-lain," kata Agus, Sabtu (24/11).
Menurut dia, KPU tidak bisa disalahkan dalam penetapan Gibran sebagai cawapres Prabowo. KPU merupakan sebuah lembaga negara yang tunduk pada undang-undang yang berlaku.
Dalam menetapkan Gibran sebagai cawapres, KPU sudah sesuai koridor yang berlaku, yakni putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023.
"PKPU yang dibuat KPU itu merespons dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang membuat norma baru, yakni boleh kurang dari 40 tahun sepanjang dia pernah menduduki jabatan politik yang dipilih secara election menjadi kepala daerah. Norma ini kemudian dimasukkan ke PKPU karena norma lama kan tidak ada," ujarnya.
Dia menjelaskan KPU dalam hal ini harus mengikuti putusan MK yang sudah final. Sehingga KPU menggunakan PKPU baru pascaputusan MK dalam penetapan Gibran sebagai Cawapres Prabowo.
"Pertanyaannya kalau itu bagian dari tugas KPU, KPU ya gak salah membuat norma itu karena memang putusan MK itu final and binding. Oleh karena itu, penyelenggara negara dalam hal ini KPU harus mengikuti keputusan MK tersebut, mengubah PKPU lama," jelasnya.
"Intinya UU Pemilu pasal 169 huruf q diubah oleh MK, berarti pasal itu tidak berlaku lagi. Ada norma baru. Di sini, KPU tidak menciptakan norma tapi menulis norma yang telah dibuat oleh MK," ungkapnya.
Namun, Agus tidak menampik kemungkinan ada permasalahan etika dan konflik kepentingan dalam putusan MK dan dibenarkan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).
"Tapi kan MKMK tidak mengoreksi terkait putusan MK (nomor 90/PUU-XXI/2023), tetap dinyatakan sah. Tidak bisa dibatalkan oleh lembaga apapun, bersifat res judicata (putusan hakim harus dianggap benar), tidak ada koreksinya, dan cuma bisa dikoreksi oleh ketua MK sendiri," ungkapnya.(dil/jpnn)