Mimi Tjong
Saya belum menemukan hasil penelitian ilmuwan soal nasib aset-aset Tjong Afie. Termasuk sahamnya di tambang batu bara Sawahlunto di Sumatera Barat.
Tjong berusia 18 tahun saat datang ke Deli, dari Mexian. Ia menyusul kakaknya yang sudah lima tahun tiba di Deli. Deli terkenal tanah subur. Dengan perkebunanmya yang terkenal sampai ke Eropa.
Tjong juga orang kaya yang beda: tidak berjudi, tidak main perempuan, tidak mengisap candu dan segala hal yang tercela. Ia belajar keras bahasa Melayu. Hubungan antar sukunya dikenal sangat baik. Kalau ada pertengkaran antar ras Tjong yang mendamaikan. Ia membangun masjid --masih ada sampai sekarang. Membangun kelenteng –juga masih ada. Membangun gereja –sudah tidak ada.
Kalau ada kerusuhan buruh perkebunan milik perusahaan Belanda Tjong pula yang meredakan. Tjong pun diangkat Belanda menjadi letnan. Lalu menjadi kapten. Terakhir menjadi mayor.
Satu-satunya cucu yang tinggal di Medan ini hanya punya anak satu orang. Perempuan. Sekolah di Cornell University di pedalaman New York. Kawin dengan bule di sana. Juga punya anak satu.
Anak, menantu dan cucu itu pernah ke Medan. Satu minggu tinggal di salah satu kamar rumah besar itu.
Kehidupan Mimi Tjong sangat sederhana. Mobilnya hanya Rush. Dia setir sendiri pula di usianyi yang 74 tahun. Bukan mobil matic pula. Saat menemui saya itu dia baru pulang dari pasar.
Mimi sendiri belum pernah menengok cucu ke Amerika. ''Jauh sekali,'' katanyi.
Bahkan Mimi belum pernah ke Mexian. Maka kami sepakat akan ke Mexian bersama. Mungkin akhir Maret depan. Saya tahu ada sop ikan enak sekali di Mexian. (*)