Tungku Sigit
Rupanya Sigit menggunakan prinsip bakar bata di desa-desa. Lalu disempurnakan. Saya mudah memahami prinsip kerja tungku Sigit itu karena saat remaja sering ikut bakar bata.
Rupanya itulah yang membuat Sigit sering dikeluarkan dari SMA. Sampai pindah SMA sembilan kali. Ia terlalu sering mengoreksi gurunya. Terutama guru matematika dan fisika. Lalu Sigit dianggap anak nakal.
''Saya juga pernah dikeluarkan dari SMA Panca Bhakti Magetan,'' katanya. Rupanya Sigit tahu SMA tersebut berada di bawah Pesantren Sabilil Muttaqin Magetan –di lingkungan keluarga besar kami. Saya pun malu tersipu.
''Apakah Anda juga sering mengoreksi guru agama?'' tanya saya.
''Tidak,'' jawabnya. Ternyata hanya di pelajaran agama yang Sigit tidak pernah koreksi. ''Ayah saya kiai,'' katanya.
Dengan prinsip tungku seperti itu maka sampah yang tidak bisa didaur ulang tuntas terbakar di situ. Nyaris tanpa biaya operasional. Investasinya pun sangat murah. Biaya membangun tungku itu hanya sekitar Rp 250 juta. Sebelum di-mark-up. Kalau pun satu kelurahan perlu dua tungku itu baru Rp 500 juta.
Bagaimana dengan sampah basah? Bekas pampers atau kain pel?
''Justru bagus,'' kata Sigit. ''Kadar air di sampah itu menambah besarnya api. Molekul-molekul air yang pecah meningkatkan nyala api,'' katanya.
Sigit mengambil contoh kebakaran. Bila disiram dengan air yang kurang, justru membuat api lebih besar. Kecuali airnya bercampur busa yang banyak.
Rasanya Sigit berhasil menemukan cara mengatasi sampah Indonesia. Tidak perlu lokasi besar.
Mungkin Sigit akan dibenci orang banyak. Caranya menyelesaikan sampah itu merugikan para pemain proyek besar di bidang sampah. (*)