Jaipong Gembyung

--

Ups... Saya lihat ada Farid Ma'ruf. Pakai seragam militer. Ada dua bintang di pundaknya: mayor jendral.

Panitia mendudukannya di depan. Deretan tengah. Pasti bukan hanya karena dua bintang. Juga karena jasa besarnya 20 tahun sebelumnya.

Mayjen Farid melihat di deretan samping ada seorang tentara gagah. Ganteng. Tinggi. Atletis. Tidak pakai baju dinas. Jabatannya Danrem Bogor. Bintangnya satu --salah satu Danrem yang berpangkat Brigjen: Faisol Izuddin Karimi. Ia kolonel pertama di angkatannya yang naik pangkat jadi jenderal. Umurnya kini 47 tahun. Asal Gresik.

Farid melihatnya. Farid berdiri. Farid minta sang Danrem duduk di tempat duduknya. Ia sendiri bergeser ke kursi deretan kanan.

"Saya memang bintang dua, tapi ia punya jabatan, saya tidak," ujar Farid. Saya memang bertanya pada Farid mengapa ia bersikap jenderak bintang satu itu lebih penting dari dirinya.

Yang juga membuat Cap Go Meh kali ini istimewa adalah  Kien Lin. Tidak setiap tahun Kien Lin boleh turun ke jalan. Bentuknya seperti barongsai tapi bukan. Kien Lin adalah kendaraan dewa. Ini mitos di Tiongkok. Sejak ribuan tahun lalu.

Setiap kali dewa turun ke bumi, kendaraannya adalah Kien Lin. Dalam satu malam Kien Lin bisa menempuh jarak langit ke bumi pulang pergi.

Saya tidak tahu mana yang lebih tua: Kien Lin atau Bouraq.

Anda sudah tahu Bouraq: kendaraan seperti kuda terbang yang membawa Nabi Muhammad dari Mekah ke Jerussalem. Dari Yerussalem terbang ke langit lapis ketujuh. Di situ Muhammad menerima wahyu kewajiban salat lima waktu. Lalu balik lagi ke Mekah. Semua itu berlangsung hanya kurang dari satu malam.

Melihat Kien Lin turun ke jalan, saya langsung tahu beda Kien Lin dengan barongsai. Kien Lin begitu magis. "Tahun 1950-an sudah ada. Tua sekali," ujar Himawan.

Kien Lin warisan berharga milik perguruan bela diri Bangau Putih Bogor. Cabang perguruan ini tersebar di banyak kota. Juga di luar negeri.

Ketua Bangau Putih yang sekarang adalah Gunawan Rahardja. Ia generasi kedua. Waktu Gunawan masih sekolah di California ayahnya sering ke Amerika: agar bisa terus melatih anaknya itu.

Kien Lin hanya tampil. Tidak ikut parade. Yang ikut adalah dewi laut dari Taiwan: Dewi Mazu. Anda sudah tahu apa kehebatan Dewi Mazu. Mereka diiring oleh 70 orang yang langsung datang dari salah satu klenteng di Taiwan.

Tentu parade ini tidak serba budaya Tionghoa. Di barisan depan ada grup tari Sunda yang saya tidak tahu namanya.

Yang jelas amat menarik. Mungkin kreasi baru. Kombinasi jaipong Karawang dengan gembyung dari Kuningan selatan: atraktif dan dinamis. Banyak jenakanya. Terutama yang diperankan oleh para penari laki-laki tua --atau ber make up tua-- yang menggoda penari wanita muda yang sedang bergoyang-goyang gemoy.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan