Oleh: Dahlan Iskan
SAYA melayat ke rumah Dr Rizal Ramli Minggu siang lalu. Telat sekali. Itu hari keenam setelah mantan Menko Ekuin itu meninggal dunia.
Saat Dr RR meninggal saya masih di Tiongkok. Saya tidak percaya ketika Adrianto Andri, aktivis pro-demokrasi, mengirim WA ke saya. "Bukan Rizal Ramli yang doktor kan?" balas saya sambil berharap ada nama Rizal Ramli lain yang meninggal.
Pertemuan terakhir saya dengan Dr RR di tempat umum. Yakni saat sama-sama menghadiri ulang tahun ke-76 Jenderal Luhut Pandjaitan. Rasanya RR sehat sekali saat itu. Menyalami dan disalami. Saya tidak sempat ngobrol. Terlalu banyak orang. Saya pilih banyak motret tokoh muda: Kaesang Pengarep. Yang hadir bersama istri. Termasuk saat mereka berdua begitu sering saling bisik.
Tidak lama setelah acara itu ternyata RR masuk Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo. Keluhan awalnya hanya seperti sakit mag. Setelah diperiksa menyeluruh ternyata sakitnya serius: kanker. Jenis kanker yang sulit diatasi: kanker pankreas.
Satu setengah bulan kemudian RR meninggal dunia. Usianya: 69 tahun.
"Ayo. Silakan ikut makan," ujar Dhitta Puti Saravati, anak sulung RR. "Itu masakan Padang semua," tambahnya.
Saya lihat masih banyak orang yang berkerumun di tempat prasmanan. Semua adalah keluarga dekat. Tiga anak RR memang masih lengkap berkumpul di rumah duka. Termasuk anak bungsu yang tinggal di New York: Daisy Orlana Ramli. Dia datang ke Jakarta bersama suaminyi: orang kulit putih.
Suguhan hari itu serba Padang. Termasuk makanan kecilnya: ketan dengan tape ketan hitam. Rizal Ramli memang orang Padang. Asam di gunung bertemu garam dari Surabaya. Istrinya, Herawati Moeljono, wanita Surabaya. Keduanya berjumpa di satu kuwali, saat sama-sama kuliah di ITB. RR ambil fakultas fisika. Hera di matematika –lantas pindah ke arsitektur.
RR tipe pacar yang setia. Saat meneruskan kuliah di Boston University, USA, sang pacar ditinggal di Bandung. Dua tahun kemudian RR pulang. Masih setia. Mereka menikah.
Kelak, ketika sudah punya dua anak, RR kembali ke Boston. Ia mengambil gelar doktor ekonomi. Sang istri, Hera, menyusul ke sana –bersama Dhitta dan adiknyi, Dipo Satria Ramli. Enam tahun mereka tinggal di Boston. Hera tetap seorang arsitek. Dia sempat bekerja di kantor arsitek di Boston.
Saat Hera berumur 40-an tahun, hal yang tak terduga menimpanyi: kanker payudara. Keluar masuk rumah sakit. Dilakukanlah pemotongan. Sembuh. Keluarga pun tenang. Sampai lima tahun kemudian tidak ada tanda-tanda kankernya muncul lagi –salah satu pertanda berarti kankernyi sudah tidak akan kembali.
Dua tahun kemudian kanker itu ternyata kembali. Ke bagian lain: rahim. Tidak teratasi. Hera meninggal dunia di usia 50 tahun. Rumah yang saya datangi Minggu siang lalu adalah rancangan arsitek Hera. Desainnya minimalis. Ada kolam renang di halaman belakang.
RR menikah lagi dengan wanita Tionghoa: Liu Siaw Fung –Marijani. Tidak berlangsung lama. Liu meninggal dunia.
Di rumah duka itu tiap malam dilakukan doa. "Nanti malam ganti para kiai dari NU. Papa kan sangat dekat dengan NU," ujar Dhitta. Tahlilan? "Terserah saja. Teman papa begitu banyak ragamnya," ujar Dhitta.