Malam sebelumnya adalah giliran alumni ITB. Sebelumnya lagi teman-temannya sesama aktivis pro-demokrasi. Tidak henti-hentinya.
Saat saya di rumah itu ada seorang penulis muda. Ia baru saja menulis buku tentang Rizal Ramli. Ia lulusan prodi sejarah Universitas Gadjah Mada. Spesialisasinya: biografi. Ia pengagum Rizal Ramli. Sejak tiga tahun lalu.
Namanya: Iryan Ali Herdiansyah. Judul bukunya: Pemimpin Amanah. Dengan subjudul: Seni Memimpin Rizal Ramli Membawa Angin Perubahan. Saya diberi bukunya. Di jalan saya baca buku itu. Isinya bagus sekali menggambarkan cara berpikir dan bertindak Rizal Ramli. Sudah lebih 20 buku ia terbitkan.
"Menurut Anda, mengapa orang sehebat Pak Rizal Ramli tidak bisa jadi presiden?" tanya saya pada Iryan.
Ia terdiam agak lama.
"Mungkin karena Pak Rizal kalau bicara terlalu menyerang," jawabnya.
Anda pun sudah tahu: RR sangat ingin jadi presiden Indonesia. Ia akan memajukan ekonomi negara. Ia tahu caranya. Termasuk cara yang tidak biasa. Ia juga akan habisi korupsi. Termasuk kolusi.
Tapi ia tidak punya partai. Padahal untuk menjadi calon presiden harus diajukan oleh partai politik.
Di sinilah Rizal Ramli terus berkoar: Indonesia tidak akan pernah mendapat pemimpin yang baik. Partai politik telah memonopoli jalur kelahiran pemimpin bangsa. Apalagi ada batasan suara parlemen 20 persen.
Itulah kekecewaan tertinggi Rizal Ramli. Pun di akhir hidupnya. Bahkan sampai ia bawa mati. Padahal sejak mahasiswa ia sudah memperjuangkan kehidupan berbangsa yang lebih baik. Sampai ia dimasukkan ke penjara.
Sang istri, Hera, sangat mendukung perjuangan suami. Saat Rizal Ramli jadi menteri –di bawah kepresidenan Gus Dur– Hera mengganti nama belakangnyi. Dari semula Herawati Rizal Ramli. Menjadi Herawati Moeljono –mengambil nama bapaknyi. Waktu itu Hera menjadi konsultan arsitektur. Hera tidak mau memanfaatkan posisi menteri sang suami.
RR begitu ingin jadi presiden. Ia pilih meninggal hampir bersamaan dengan penetapan capres untuk Pilpres 2024. (*)