Jaksa Terdakwa

--

Oleh: Dahlan Iskan

SELAMA tiga hari saya ikuti lengkap pidato Kamala Harris, Tim Walz, Barack Obama, Michelle Obama, Bill Clinton, suami Kamala, istri Walz, dan beberapa lagi. 

Saya sependapat dengan Bung Mirwan Mirza: merindukan kualitas pidato pemimpin-pemimpin kita –bisa mirip pidato mereka. 

Kita rasanya masih di tingkat merindukan yang lain: bansos, serangan amplop fajar.... 

Tiga hari itu kuota pulsa saya jebol. Konvensi Partai Demokrat Amerika Serikat telah merugikan saya: boros pulsa. Tapi terhibur. 

Di Jakarta saya geleng-geleng kepala atas akal-akalan agung konstitusi. Pekan lalu, di Amerika geleng kepala menikmati kualitas pidato mereka. 

Memang baru pidato. Baru janji-janji di konvensi. Saya pun flash back: mencari rekaman debat cawapres –antara Kamala dan Pence empat tahun lalu. Kamala sebagai penantang, Pence sebagai incumbent. 

Selama sebulan ini nama Kamala sungguh meroket. Mengejar elektabilitas Donald Trump. Pidato-pidato Kamala sangat memikat. Juga tawanyi. Humornyi. Ekspresi wajahnyi. Intonasinyi. Jargon-jargonnyi. 

Lantas muncul kritik: semua itu baru pidato. Yang isinya bisa disiapkan. Bahkan beberapa pidatonyi pakai teks, teleprompt. 

Kamala belum teruji di forum dadakan. Belum pernah melakukan konferensi pers. Belum pernah digoreng wartawan-wartawan di door stop. 

Juga belum pernah tampil dalam forum debat dengan Trump. Dia belum merasakan dilindas keagresifan Trump secara langsung. 

Maka saya flash back. Rekaman debat Kamala-Pence saya cari. Apakah Kamala juga hebat di forum debat. Rekamannya mudah didapat. Ternyata di debat cawapres saat itu Kamala meyakinkan. Dia unggul jauh dari Pence. 

Tapi Pence bukan Trump. Pence orang yang kalem. Bicaranya lirih. Posisi incumbent-nya membuat lebih banyak defensif. 

Apalagi keadaan lagi berat: di tengah masa Covid. Amerika hancur-hancuran. Negara terburuk dari jumlah korban yang meninggal. Semua itu sasaran empuk untuk diserang. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan