Layar HP pun menunjukkan posisi: bus sudah berada di dalam wilayah cagar alam. Saya menatap ke luar: sama saja. Padang pasir juga. Yang itu juga. Tidak ada bedanya dengan ke mana pun mata memandang.
Pun satu jam kemudian. Dua jam berikutnya. Cagar dan bukan cagar tidak bisa dibedakan.
Setidaknya saya sudah punya pengalaman memasuki cagar terbesar di Timur Tengah.
Dan bus ini akan berhenti di Taif –kota pegunungan 1,5 jam sebelum Makkah. Inilah harapan baru. Setelah harapan lama lewat dengan hampa. Taif. Begitu terkenal namanya. Kota wisata. "Seperti Batu di Malang," kata banyak orang yang belum pernah ke Batu.
Taif di depan mata. Hampa lagi.
Hari sudah gelap. Gulita. Tanggal sudah tua. Bulan tidak kelihatan, pun sabitnya. Di dalam gelap itu Taif tidak seperti Batu.
Tapi, dalam gelap pun, bus tahu di mana terminal Taif. Si Yaman ternyata turun di situ. Satu-satunya penumpang wanita juga turun. Pun dua penumpang lagi. Tinggallah saya dan si Sudan di dalam bus besar menuju Makkah.
Gelap.
Kosong gelondang.
Si Sudan jauh di depan. Si Nusantara di belakang. Ini saatnya beraksi. Tanpa risi. Saya pun mencopot semua pakaian. Lalu saya kenakan ihram. Beres. Tidak perlu lagi bus harus berhenti di miqat –kira-kira setengah jam lagi dari Taif. Tepatnya di Sail Al Kabeer. Hemat waktu.
Sampai Makkah sudah jam 22.00. Perangko belum bisa bertemu amplop.
Mas Bajuri dari Bakkah dan Mas Sodiq dari Harian Memorandum menjemput saya di terminal. Mereka mau menemani saya umrah.
"Sendirian saja," jawab saya. Mereka sudah lelah mendampingi rombongan Bakkah.
Saya pun langsung ke masjid Al Haram seorang diri: tawaf –mengelilingi Kakbah tujuh kali.
Saya doakan si perangko. Juga anak-anak perangko. Cucu-cucu. Orang-orang terbaik. Sahabat-sahabat. Perusuh.
Lalu saya masih harus Sa'i: tujuh kali jalan kaki dari bukit Sofa ke bukit Marwa. Begitulah dulu istri Ibrahim (Abraham) bersusah payah bolak-balik mencarikan air untuk bayinyi –lalu tiba-tiba ada air Zamzam.