Perangko Lelap

Minggu 10 Mar 2024 - 23:03 WIB

Yang mengajak saya itu orang Yaman. Tinggi, langsing, setengah baya, ganteng. Satunya lagi pendek, kecil, hitam, selalu bicara keras di HP. Ia orang Sudan.

Rupanya si Yaman tadi sudah memesan satu porsi nasi briyani. Porsinya besar. Satu nampan. Dua ekor ayam panggang menghiasi di atasnya. Ia perlu teman untuk menghabiskannya.

Tidak habis juga. Pun separonya.

Kami berlomba lari ke kasir. Si Yaman lebih dulu menjulurkan uang 100 riyal. Saya tepis tangannya. "Saya yang bayar," kata saya. Tidak hanya di dalam hati. Ia ngotot. Bahasa Arabnya lebih bisa dipahami kasir. Jadilah lagi-lagi saya makan gratisan. Pun nun di tengah padang pasir.

"Mau umrah?" tanya si Sudan setelah makan.

Saya mengangguk.

"Umroa juga?" tanya saya.

"La," jawabnya.

"Mau umrah juga?" tanya saya ke yang si Yaman.

"La," jawabnya.

Selesai makan, si Yaman bicara dengan awak bus yang lagi makan di lesehan sebelah. Ia memberi tahu awak bus bahwa saya mau umrah.

Saya paham: agar bus berhenti di tempat miqat. Yakni tempat di mana orang yang akan umrah harus ganti ke pakaian ihram. Tanpa pakaian ihram umrahnya tidak sah.

Saya memang sudah bawa pakaian ihram: dua lembar kain putih. 120 x 240 cm. Satu untuk bagian bawah badan. Satunya lagi untuk bagian atas. Tidak boleh ada pakaian dalam.

Ada aturan: bus umum harus berhenti di miqot kalau salah satu penumpangnya ada yang mau umrah.

Saya tadi belum sempat memberi tahu awak bus. Juga karena saya punya rencana tersendiri.

Resto itu sudah begitu dekat dengan cagar. Di dalam bus mata saya pindah-pindah: ke layar hp dan ke layar ufuk. Saya bayangkan cagar itu nanti akan sangat menakjubkan: binatang-binatang liar, buas, aneh, langka. Atau ribuan burung yang lagi beterbangan. Mungkin juga banyak tanaman langka di situ.

Tags :
Kategori :

Terkait