Oleh: Dahlan Iskan
TIDAK mudah cari tiket pulang di awal tahun baru. Hari itu saya baru dapat tiket sehari setelah anak-cucu.
Maka setelah mereka meninggalkan Shanghai, saya dan istri termangu: mau ke mana. Harus menghabiskan waktu sisa satu hari.
Pilihan saya naik kereta ke Shantou. Sudah sangat lama saya tidak ke daerah itu. Kabupaten Shantou di selatan Xiamen. Mayoritasnya suku Tiochu. Itulah suku yang juga jadi mayoritas di masyarakat Tionghoa, Kalbar.
Keinginan itu gagal. Tidak dapat tiket kereta ke Shantou. Habis.
Saya pun cari bus. Istri tidak keberatan.
Juga tidak dapat tiket.
Setelah tahun baru kendaraan umum serba full booked.
Kalau begitu ke Meizhou saja. Dekat Shantou. Itulah kota yang mayoritas penduduknya suku Hakka. Murdaya Poo adalah orang suku Hakka.
Rencana itu saya batalkan. Saya ingat: bulan Maret depan saya janji akan ke Meizhou bersama Mimi Tjong, cucu Tjong A Fie, orang suku Hakka terkaya di Medan masa lalu. Mimi justru belum pernah ke daerah asal leluhurnyi. Untuk apa ke Meizhou sekarang. Toh dua bulan lagi akan ke sana.
Akhirnya saya pasrah: ke mana saja. Yang penting ke arah selatan. Mendekat ke Hong Kong. Tiket kepulangan saya ke Surabaya dari Hong Kong.
Bisa saja dari Shanghai saya langsung ke Hong Kong. Bermalam satu malam di situ. Untuk apa. Kan saya baru saja beberapa hari di Hong Kong.
Pilihan terakhir: apa boleh buat, Shenzhen. Toh sudah beberapa tahun tidak ke Shenzhen. Sudah berubah seperti apa kota itu sekarang.
Kami bisa satu malam di Shenzhen. Lumayan. Bisa ber-me time. Keesokan harinya dari Shenzhen bisa langsung naik mobil ke bandara Hong Kong.
Dapat tiket. Dari Shanghai ke Shenzhen saya naik kereta cepat: 7 jam. Itulah pengalaman pertama naik kereta cepat selama 7 jam. Kalau 5 jam sudah beberapa kali.