Airlangga Pribadi: Pemanfaatan Hukum untuk Kekuasaan Adalah Pengingkaran terhadap Pancasila

--

POLKUM - Pengamat politik Airlangga Pribadi Kusman menemukan kembali (rediscovery) ajaran Proklamator RI Soekarno (Bung Karno) dalam konteks dinamika politik kontemporer Indonesia menuju Pemilu 2024. 

Menurut Airlangga, Bung Karno bersama dengan Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan Tan Malaka menegaskan sistem politik republik sebagai corak utama Indonesia Merdeka. 

"Seperti yang ditegaskan oleh Bung Karno dalam Pidato Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945, menguraikan bahwa dengan corak sistem republik, maka tidak memungkinkan seseorang yang menjadi presiden kemudian otomatis diteruskan oleh anaknya menjadi kepala negara," ucap Airlangga dikutip dari siaran pers.

Hal itu disampaikan pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga tersebut dalam acara bedah buku Merahnya Ajaran Bung Karno yang diselenggarakan Universitas Trunojoyo Madura pada Kamis (7/12). 

Dia mengatakan sehubungan dengan kondisi sekarang, maka arah perjalanan politik Indonesia telah mengingkari kesepakatan para pendiri republik (The Founders of Republic). 

Sebab, keluarga khususnya anak dari seorang presiden mendapatkan keistimewaan melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memperoleh kesempatan menjadi wakil presiden, yakni Gibran Rakabuming Raka.

Menurut dia, arah politik yang memperlihatkan menguatnya previlege dari keluarga pemimpin, bertentangan dengan nafas Pancasila seperti dikumandangkan oleh Bung Karno dalam Lahirnya Pancasila. 

Airlangga juga mengungkit pesan Bung Karno bahwa Republik Indonesia yang akan dibangun jangan sampai mengagungkan satu orang, memberi kekuasaan pada satu golongan kaya maupun aristokrat. Namun, negara ini adalah milik semua, semua untuk semua.

Penyataan Bung Karno itu menurut Airlangga, menegaskan bahwa Republik Indonesia yang diperjuangkan pendiri bangsa berusaha membatasi kekuasaan, karena itulah esensi dari Republik.

"Sementara keistimewaan maupun pemanfaatan hukum bagi kepentingan kekuasaan yang tengah terjadi adalah pengingkaran terhadap prinsip republik sebagai esensi dari Pancasila," tutur peraih gelar Ph.D dari Murdoch University Australia itu. 

Airlangga menilai fenomena penciptaan politik dinasti melalui pemanfaatan institusi hukum yang terjadi juga memperlihatkan terjadinya krisis terhadap republik. 

"Di mana kekuasaan tak terbatas akan menjadi ancaman bagi fase mutakhir dari pembajakan atas demokrasi; Inilah saatnya bagi warga negara untuk membela republik dan demokrasi yang diperjuangkan oleh para pendiri republik," ujar Airlangga Pribadi.(fat/jpnn.com)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan