Tetangga B
Marganas kembali ke Siantar.
Keesokan harinya Metro Tapanuli tidak terbit. Kebebasan pers begitu terkekang, pun setelah Orde Baru.
Sampai di Siantar, Marganas rapat: apa yang harus dilakukan. Metro Tapanuli harus tidak terbit. Tapi koran harus tetap terbit.
Pakai nama lain.
Diputuskanlah nama baru: New Tapanuli. Susunan redaksinya sama. Wartawannya sama. Pimpinannya sama. Agennya sama. Pelanggannya sama. Hanya nama yang beda. New Tapanuli pun terbit dan beredar baik-baik saja.
Marganas memang seorang Kristen. Asal Siantar. Saya menemukannya di Batam. Ia memang merantau ke Batam. Ketika kami menerbitkan Batam Pos, Marganas kami angkat sebagai tenaga pemasaran. Jualan koran. Dan cari iklan. Kerja keras. Berhasil.
Lalu Marganas kami angkat sebagai salah satu direktur di Batam Pos. Sedangkan dirutnya adalah Rida K. Liamsi. Tapi Marganaslah yang memimpin sehari-hari. Rida tinggal di Pekanbaru: memimpin Riau Pos.
Setelah Batam Pos menjadi raksasa lokal, Marganas mengembangkan koran di Sumut. Tidak hanya di Medan. Juga di banyak kabupaten. Termasuk di Siantar dan Sibolga. Saya sendiri tidak hafal di mana saja ada koran kami di Sumut.
Meski sudah sama-sama ''pensiun'' dari Jawa Pos, saya masih sering bertemu Marganas. Setiap kali saya ke Batam saya telepon: saya ajak makan roti canai Har. Atau makan durian.
Saya iba mendengarkan curhatnya, tapi saya tidak bisa banyak menolongnya. (*)