Bisnis Ilmu

--
"Yang Albumin," jawab Prof Nurpuji.
"Nur Puji atau Nurpuji?"
"Nurpuji. Disambung".
"Seperti nama orang Jawa...."
"Ibu saya Jawa".
Ayah Nurpuji-lah yang Makassar. Tentara. Terakhir berpangkat Letkol. Pindah-pindah tugas. Saat berdinas di Jawa dapat jodoh wanita Jawa.
Sejak lahir sampai S-1 Nurpuji di Makassar. Lalu mendapatkan gelar master di universitas di North Carolina, Amerika. Nurpuji lantas kembali ke Unhas untuk S-3.
Suaminyi saya kenal: komisaris di Bosowa. Pernah pula jadi dekan fakultas ekonomi di Unhas.
Saya pun minta maaf ke Prof Nurpuji. Saya telat tahu. Salah sangka. Ternyata bukan Universitas Brawijaya Malang yang lebih dulu meneliti kandungan albumin pada ikan haruan.
Waktu saya perlu-perlunya tambahan albumin (2005-2006) saya mencarinya di UB Malang. Berhasil. Tidak ke Prof Nurpuji. Ternyata tahun 2002 Prof Nurpuji sudah punya produk kapsul albumin.
Itulah kelebihan peneliti yang tetap menekuni bidang klinis. Prof Nurpuji bisa menghadapi langsung penderitaan pasien. Ada pasien yang di samping kekurangan albumin juga kekurangan uang. Dokter harus tetap menyelamatkan pasien yang miskin.
"Setelah jadi dokter jangan berhenti menjadi ilmuwan".
Itulah kalimat yang selalu saya ingat dari kemarahan Dr Shen Zhong Yang kepada tim dokternya. Yakni saat tim itu tidak kunjung bisa menyelesaikan keluhan saya pasca transplant hati. Pendiri rumah sakit pusat transplant di Tianjin, Tiongkok, itu sendiri seorang peneliti ternama. Ia punya toples berisi air di meja kerjanya. Di dalamnya ada barang. Itulah hati bayi yang gagal ia selamatkan saat pertama melakukan transplant.
Nurpuji dan Purwati tidak termasuk yang berhenti menjadi ilmuwan. Juga terus berbisnis di bidang mereka.
"Kenapa merek kapsul albumin Anda ini seperti nama petani di Jawa”?