Kami pun bertemu wanita kulit putih yang lewat di situ: Nina Parker. Lebih tua dari umur saya. "Saya tinggal di situ. Tiga blok dari sini," kata Nina.
Meski bertetangga, Nina awalnya tidak tahu kalau ini rumah masa kecil Kamala. Dia baru tahu empat tahun lalu.
"Malam itu tiba-tiba ada karnaval di jalan ini. Saya pun melihatnya. Ada apa. Ternyata itu karnaval untuk kemenangan Kamala sebagai wakil presiden," ujar Nina. Dari karnaval itulah dia baru tahu siapa pemilik rumah tersebut.
Sebenarnya saya menunggu karnaval yang lebih besar kemarin malam. Sambil menunggu karnaval itu, kami makan dulu di Yuet Lee di San Francisco.
"Harus makan di situ," pesan cucunya Pak Iskan kepada Ari Sufiati yang jadi pimpinan rombongan kami.
Toh resto itu hanya setengah jam dari rumah Kamala.
Di tengah perjalanan kami baru tahu Yuet Lee tutup. Kami pun ke San Mateo, lebih di luar kota San Francisco. Ada hot pot di situ. Mel seorang vegetarian.
Saat makan di hot pot itulah saya baru tahu bahwa Mel sebenarnya bukan vegetarian. Dia selalu pilih makan sayuran karena pasti halalnya.
Maka kami pun minta hot pot yang kuahnya dua macam: air panas di sisi sini dan sup ayam di sisi sana –karena ayam pun di mata Mel belum tentu halal.
Ketika suaminyi yang bule Belgia itu hendak menyuap makanan, Mel menyenggol tangan suami. "Baca Bismillah dulu," bisik Mel kepada sang suami.
Sambil makan malam itu kami melihat televisi. Ada siaran langsung hasil penghitungan suara. Kami pun tahu: tidak akan balik ke rumah Kamala malam itu. Tidak akan ada karnaval di sana.(Dahlan Iskan)