Polarisasi ini terjadi lantaran hanya ada dua pasang calon yang mengikuti kontestasi Pilpres di 2014 dan 2019. Artinya, polarisasi itu mutlak terjadi.
“Pilpres 2024 yang diikuti oleh tiga pasang calon, juga berpotensi hal yang sama. Polarisasi ini bahkan diprediksi akan terjadi tidak hanya antara kelompok Islamis dengan kelompok nasionalis, bahkan juga berpotensi terjadi antara kelompok nasionalis dan kelompok nasionalis seperti yang terjadi pada tahun 1965 dan tahun 1998,” ucapnya,
Dia menyebut pertarungan di media sosial antara pendukung Anies-Muhaimin, pendukung Prabowo-Gibran, dan pendukung Ganjar-Mahfud.
Berbeda dengan pendukung pasangan Anis-Muhaimin yang banyak diisi oleh kalangan agamis, pendukung pasangan Prabowo-Gibran dan pasangan Ganjar-Mahfud diisi mayoritas oleh kalangan kelompok nasionalis.
Lebih lanjut, Syifak mengatakan polarisasi itu terlihat bagaimana keduanya telah mengibarkan bendera perang di dunia maya.
Psywar dilakukan terus menerus tanpa henti. Saling menjatuhkan, saling memfitnah, dan saling melempar isu yang sebenarnya usang.
“Belajar dari sejarah polarisasi yang terjadi di Indonesia, bahwa polarisasi bisa terjadi apabila hanya ada dua pilihan yang berbeda, termasuk yang terjadi di DKI Jakarta tahun 2017, polarisasi dimulai saat putaran kedua di mana pilihannya yang tersisa adalah dua pasangan yaitu pasangan Ahok-Djarot dan pasangan Anies-Sandi. Oleh karena itu, melihat fenomena ini harus dihindari agar apa yang terjadi pada masa-masa kelam itu tidak berulang kembali di kemudian hari. Sebab yang dirugikan sepenuhnya adalah rakyat. Bukan elite-elite politik atau sukarelawan pendukung para kandidat.
“Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk membangun dan memperkuat narasi kebangsaan di tengah masyarakat, sehingga kepentingan nasional tidak dikalahkan oleh kepentingan politik praktis,” urainya.
Selain itu, Syifak berharap satu putaran dapat menjadi salah satu solusi karena mereduksi polarisasi. Satu putaran juga dapat menghemat anggaran.
“Potensi polarisasi itu ada. Melihat perdebatan hari ini masih berputar pada individu calon, belum menyentuh visi misi dari calon. Bukan visi misi yang dibahas atau program melainkan personal,” ujar Syifak.
Lebih lanjut, Syifak menyampaikan peran media juga sangat penting menjaga demokrasi serta mencerdaskan masyarakat untuk menetralisir sebaran berita hoax yang dapat menimbulkan perpecahan dan mengoyak persatuan.
“Jangan sampai kemudian media ikut menjadi corong penyebar hoaks,” ujar Syifak.
Hadir dalam diskusi tersebut anggota DPR RI Fraksi Golkar Bobby Adhityo Rizaldi, Direktur Eksekutif Survei and Polling Indonesia (SPIN) Igor Dirgantara, Dosen Universitas Nasional (UNAS) Nurtsatyo serta Nudzran Yusra selaku peneliti Lab Fisipol UI dan Psikologi Universitas Syiah Kuala (USK).(frijpnn)