"Semoga antre ambil bagasinya cepat," jawab Lia.
"Saya tidak punya bagasi. Bisa langsung keluar".
Saya memang hanya menyeret tas kecil. Ini memasuki musim panas. Tidak perlu banyak bawa baju tebal. Hanya bawa satu oleh-oleh kopi Gayo Aceh untuk John Mohn.
Dari jauh saya lihat Lia. Dia bawa tentengan tas kresek besar. Saya lambaikan tangan. Dia juga melambai. Setelah pelukan selamat datang dia menyerahkan tas kresek itu.
"Ini makan malam Anda," kata Lia.
"Kok banyak sekali?"
"James yang masak".
" Hah? James masak?"
"Selalu".
Lia sudah pilihkan saya hotel dekat rumahnyi. Hanya sepelemparan roti keras. Di kamar, saya buka tas kresek itu. Ampuuuuun. Isinya banyak sekali. Masakan Indonesia semua!
Ada nasi uduk. Sambal goreng tempe. Lengkap dengan kacang tanah, kentang dan mente. Sambal kacang. Tahu goreng. Tempe goreng tepung. Kerupuk. Bawang goreng. Kentang iris serambut dicampur irisan-irisan bawang putih. Masih ada bihun goreng ditaburi irisan lembut wortel. Dua botol air putih. Jeruk.
Saya tidak percaya itu masakan James F. Sundah, suami Lia. Pasti beli dari restoran Indonesia di Queens. Aroma kamar pun semerbak dengan masakan Indonesia. Menghindari masakan istri justru dapat "kutukan" masakan James.
Saya gletakkan masakan itu di atas meja. Saya pun mandi. Setelah tiga bulan mandi air sumur di pedesaan Mojokerto, malam itu saya mandi air Amerika: yang kualitasnya bisa langsung diminum.
Saya pilih langsung tidur. Toh saya perlu makanan untuk sarapan besok. Masakan James itu gratis. Daripada 70 dolar di cafe hotel.
Bangun tidur saya harus pilih komentar pilihan di Disway. Lalu menulis 'Michael Jackson This Is It' untuk edisi kemarin. Senam. Sendirian. Satu jam. Kamar ini cukup luas untuk senam. Udara di luar 18 derajat Celsius. Gerimis.
Waktunya sarapan. Dengan takut-takut saya cicipi sambal goreng tempe itu. Wow! Kaget. Enak sekali. Sangat Indonesia. Setara rasa dengan masakan istri.