Dengan demikian, secara tidak disadari wilayah yang luas hingga jutaan hektar tersebut telah akan beralih ke luar negeri tanpa bisa diketahui ke mana beralihnya dan dikuasai oleh siapa.
Dengan kata lain, pemerintah hanya tahu bahwa perusahaan memiliki izin di atas kertas, hanya berupa ijin tanpa wilayah, (tidak ada kewajiban yang bisa dilakukan dan tidak ada pembinaan oleh pemerintah RI), karena wilayahnya sudah dikuasai pihak lain (asing); bukan lagi menjadi sumber daya alam yang dikuasai oleh negara dengan hak konstitusionalnya pada rakyat Indonesia.
Indonesia bisa kehilangan wilayah negara atas nama bisnis dan voluntary. Menerapkan metode sertifikasi karbon secara sembrono tanpa kendali Pemerintah akan dapat berimplikasi pada “melayangnya” juridiksi teritori wilayah dan dalam skala yang masif, menjadi bukan tidak mungkin kita hanya akan memiliki negara tanpa wilayah, atau virtual country. Dagang karbon secara sembrono jelas merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara.
“Perdagangan karbon yang sembrono bisa merongrong kewibawaan dan kedaulatan negara. Untuk itu ada persyaratan untuk perdagangan karbon agar tidak membahayakan kedaulatan negara dan harus diatur oleh pemerintah atas nama kekuasaan negara,” tegas Menteri Siti sambil menambahkan salah satu ketentuan dan persyaratan perdagangan karbon adalah penggunaan metodologi untuk menghitung kinerja pengurangan emisi GRK.
Menurut Menteri Siti, sudah ada pengaturan dengan Permen LHK Nomor 21 tahun 2022 Pasal 60 Ayat (2) huruf F. Methodologi yang dapat digunakan dalam penghitungan emisi yaitu: (1) metodologi yang telah disetujui oleh UNFCCC atau badan di bawahnya seperti Badan Pengawas CDM atau Badan Pengawas A6.4 Paris Agreement.
Kemudian, kedua yaitu methodologi yang telah ditetapkan oleh Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PPI-KLHK), selaku National Focal Point (NFP) UNFCCC Indonesia; atau (3) Ditetapkan oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). Metodologi memegang peran penting karena menjelaskan data aktifitas dan factor emisi yang digunakan serta metodologi penghitungan emisi yang dipakai.
Metodologi dan Verifikasi
Lebih lanjut Menteri Siti Nurbaya mengatakan kinerja surplus emisi dapat diperdagangkan, apabila nilai aktual emisi berada di bawah baseline dan target pengurangan emisi pelaku usaha. Berapa hitungan surplus tergantung dari metodologi yang digunakan.
Oleh karena itu, verifikasi menjadi sangat penting karena harus emisi aktual atau bukan potensial. Adapun metodologi penghitungan emisi ditetapkan berbasis scientific dan technology. Untuk sektor kehutanan telah ditetapkan metodologi hitung kinerja penuruann emisi GRK sektor kehutanan yaitu sebanyak 5 (lima) metode masing-masing: KMSAH-001, MSAH-001, MSAH-002, MSAH-003, dan MSAH-004.
BACA JUGA : https://rakyatbenteng.bacakoran.co/read/4033/yandri-susanto-indonesia-butuh-generasi-penerus-yang-andal
Metodologi CDM untuk sektor Kehutanan yang telah disetujui oleh Badan Pengawas CDM ada 4 yaitu AR-AM014, AR-ACM003, AR-AMS0003, AR-AMS0007yaitu metodologi penghitungan untuk kinerja penurunan emisi GRK, emisi dari deforestasi, emisi dari degradasi hutan, emisi dari kebakaran lahan gambut, emisi dari lahan gambut serta Aforestasi dan Reforestasi baik skala besar maupun skala kecil.
“Tetap saja ada dan memungkinkan ada pengembangan metodologi di luar yang disebutkan sebagai metodologi tersebut seperti antara kain dengan MRA atau Mutual Respect Agreement. Seperti ini juga sudah ada contohnya yang telah dirintis dalam kerjasama Indonesia-Jepang,” ujar Menteri Siti Nurbaya Lebih lanjut,
Menteri LHK mengatakan peluang pengembangan metodologi, tentu saja dibuka untuk semua stakeholders yang memiliki scientific dan technology yang memadai sepertipara peneliti, lembaga penelitian, perguruan tinggi, praktisi dan sebagainya.