Dan itu sebenarnya tidak perlu. Tanpa pakaian ihram tawaf tetap bisa dilakukan. Misalnya di lantai 2, atau 3, atau 4 atau di roof top. Satu putaran tawaf sejauh 1 km. Itu sering saya lakukan.
Kali ini saya harus ikut maunya istri: tawaf di dekat Kakbah. Maka kami pun bersiasat: pakai pakaian ihram. Berhasil tawaf dekat Kakbah. Dengan begitu istri merasa lebih tawaf daripada tawaf.
Saya sendiri setiap kali tawaf, kepikiran hajar aswad: batu hitam di pojok Kakbah itu. Bagaimana bisa orang berebut ibadah dengan cara menyakiti orang lain: menyikut, menarik, menginjak, menendang: rebutan mencium batu hitam itu.
Maka kalau ada ide menaikkan posisi batu itu lebih tinggi saya akan mendukung. Agar adil: semua bisa melihatnya sambil melakukan tawaf. Lalu bisa melambaikan tangan ke arahnya. Tanpa harus mencium lagi.
Seperti juga di lokasi lempar jumrah (melempar batu ke tugu simbolis setan): sudah berubah total kan? Lebih baik kan? Tugu setannya sudah dibuat sedemikian tinggi dan lebar. Ribuan jamaah haji bisa melempar bersamaan tanpa membahayakan keselamatan. Tidak berdesakan. Tidak ada lagi yang mati terinjak.
Penataan terus dilakukan. Jumlah ''turis'' Arab Saudi sudah mencapai 10 juta setahun. Jamaah umrah Indonesia saja 2 juta orang setahun.
''Baru segitu'' saja sudah begitu padat Makkah. Padahal Mohamad bin Salman, sang putra mahkota, sudah menitahkan: Saudi harus dikunjungi 30 juta turis di tahun 2030 nanti.
Betapa kian banyak yang akan salat pakai sepatu.(Dahlan Iskan)