Oleh: Dahlan Iskan
HATI selalu ingin salat di dalam masjid Al Haram. Kenyataan sering menempatkan saya salat di tengah jalan raya. Di atas aspal. Jauh di luar masjid.
Jumlah manusia menuju masjid memang tak terkirakan. Dari segala arah. Kalau azan sudah dikumandangkan belum sampai di masjid pun harus berhenti.
Di situlah salat. Di trotoar. Di emperan hotel. Di koridor mal. Dan di tengah jalan raya.
Komandonya tetap satu: dari imam yang ada nun di dalam masjid.
Tidak jarang di depan saya sederet orang salat di atas aspal tanpa sajadah. Mereka tidak melepas sepatu. Atau sandal.
Kamis lalu empat anak muda salat di depan saya seperti itu: dengan tetap bersepatu kets.
Perhatian saya pun terpecah ke sepatu itu: bagaimana nanti mereka bisa melakukan gerakan simpuh terakhir. Apakah bisa bersimpuh (tahiat) akhir dengan pakai sepatu.
Ternyata sepatu kets itu sangat fleksibel. Terlihat lebih nyaman melakukan itu.
Ada yang sandalnya dicopot. Lalu berdiri di atas sandal. Di gerakan simpuh mata kaki kirinya menekan aspal. Tentu sakit. Saya pun pernah mengalami.
Di Makkah ini kian sering saya melihat orang salat pakai sepatu. Di luar masjid Al Haram. Saya bayangkan, suatu saat masjid bisa seperti gereja: yang sembahyang tidak perlu melepas sepatu.
Kan persoalannya di najis: apakah sepatu itu kotor atau tidak kotor dalam pengertian najis: ada kotoran binatang atau manusia menempel di sepatu.
Di desa-desa kemungkinan sandal terinjak kotoran ayam sangat besar. Ayam berkeliaran di desa. Pun kambing dan kerbau.
Di kota, kemungkinan itu kecil. Apalagi di kantor-kantor. Di kompleks elite. Dari rumah, setelah pakai sepatu mereka langsung naik mobil. Turun dari mobil sudah di depan lobi kantor. Dari karpet ke karpet. Tanpa najis.
Makkah pun terus berubah.