Yang menarik adalah: temuannya di bidang cara bakar sampah. Ia menyebutnya sebagai teknologi oksidator. Membakar sampah dengan sampah.
Untuk itu Sigit menciptakan tungku. Belum pernah ada tungku seperti ciptaan Sigit. Ukurannya kecil: 2,4 m x 2,4 m dengan tinggi 3,6 m. Lapisan luar tungku itu terbuat dari plat baja. Bagian dalamnya bata. Dua lapis. Satu lapis disusun miring, satu lapis lagi disusun telentang.
Di bagian depan tungku diberi lubang segi sempat. Sekitar 40 x 50 cm. Lubang itu untuk memasukkan sampah yang sudah dicacah.
Tungku Sigit ini dua bidang. Atas bawah. Yang bawah tingginya sekitar 50 cm. Yang atas 3,1 meter. Penyekatnya juga dari baja. Baja penyekat ini diberi lubang-lubang. Untuk isap oksigen sekalian menjatuhkan abu dan residu lainnya.
Ruang bakarnya di atas penyekat itu. Sampah masuk di tungku bagian atas itu. Di situ, di bagian agak bawah, dibuatkan semacam knalpot. Nyaris tidak ada asap yang keluar dari knalpot. ''Asapnya telah kami bakar lagi di bagian atas tungku,'' ujar Sigit. ''Asap yang masih keluar dari knalpot lebih sedikit dari asap orang merokok,'' tambahnya.
Fungsi bata dua lapis adalah: penghasil panas. Bata itu, setelah dipanaskan, jadi bata yang membara. Panasnya bisa sampai 1.300 derajat.
Panas yang dihasilkan bata yang membara itulah yang membakar sampah.
Untuk kali pertama tentu harus pakai bahan bakar. Kayu. Tidak lama. ''Cukup 15 menit,'' katanya. Lalu sampah sudah bisa dimasukkan. Terbakar. Membuat bata lebih panas lagi. Sampah pun terus dimasukkan. Terbakar lebih cepat lagi. Begitu terus sampai bata sangat panas. Memerah. Membara. Seperti menyala.
Kata '15 menit' itu juga kira-kira. Tidak ada penanda digital atau alat pengukur. Tidak harus beli alat penanda. Dari mana bisa tahu sampah sudah bisa dimasukkan? Dari mana tahu batanya sudah panas atau belum?
''Bisa pakai cara alamiah,'' katanya. Setelah kayu membakar tungku sekitar 15 menit pasanglah telinga baik-baik. Kalau sudah ada suara letusan kecil ''bleduk, bledug'' berarti pembakaran dengan kayu bisa diakhiri. Dinding bata sudah panas. ''Sampah mulai bisa dimasukkan,'' katanya. Suara tadi itu menandakan pecahnya molekul-molekul air.
''Jadi, untuk lapisan-dalam tungku Anda tidak pakai batu tahan api?'' tanya saya. Saya ingat semua konstruksi kiln dilapisi batu tahan api.
''Saya tidak mau menggunakan batu tahan api,'' kata Sigit.
''Kenapa?''
''Batu tahan api itu justru menyerap panas,'' jawab Sigit. ''Saya pakai bata karena ingin bata itu memancarkan panas untuk membakar sampah,'' tambahnya.
Rupanya Sigit menggunakan prinsip bakar bata di desa-desa. Lalu disempurnakan. Saya mudah memahami prinsip kerja tungku Sigit itu karena saat remaja sering ikut bakar bata.
Rupanya itulah yang membuat Sigit sering dikeluarkan dari SMA. Sampai pindah SMA sembilan kali. Ia terlalu sering mengoreksi gurunya. Terutama guru matematika dan fisika. Lalu Sigit dianggap anak nakal.