Bonita Sufiati
--
Dia pamit ke bos pemilik properti itu. Seorang kulit putih. Pengikut Mormon –aliran gereja yang sangat dekat dengan Islam: dilarang makan babi dan boleh poligami.
Ia menerima permintaan mundur Ari. Sebenarnya si bos senang mempekerjakan orang Islam seperti Ari.
Meski sudah begitu nyaman Ari tetap pindah dari zona hijau ke zona merah. Itu karena dia yakin akan bisa mengubah merah menjadi hijau.
Keyakinan diri Ari terbukti. Dari sekadar part time Ari segera diangkat jadi karyawan tetap. Naik terus. Sampai menjabat senior project manager saat ini.
Pertandingan selesai pukul 21.00. Di sebelah kiri saya juga seorang anak muda berprestasi. Baejah. Itu nama wanita 22 tahun.
Ia lulusan SMAN 1 Cirebon. Juara sekolah. Sudah lulus S-2 ITB. Untuk jurusan micro-elektronika: yang mempelajari chip –semiconductor.
Di stadion ini dia datang sebagai wakil Wardah. Sekaligus mentee Ari –yang diminta secara langsung oleh pak Salman Subakat, CEO NSEI, bagian dari Paragon Corp. Parent company dari Wardah. Saya titip salam untuk top manajemen mereka.
Ari bergegas meninggalkan stadion. Perlu satu jam perjalanan dari stadion ke tempatnya bermalam di Surabaya: Hotel Sheraton.
Pukul 23.00 dia harus mulai bekerja. Jarak jauh. Pada jam segitu karyawan Apple lain di kantornyi di Cupertino mulai masuk kerja.
Selama di Surabaya Ari memboyong bapak-ibunyi ke Sheraton. Tinggal bersama di hotel bintang lima itu. "Bagi saya orang tua adalah segala-galanya," ujar Ari.
Sang ayah tinggal di Krian, satu kecamatan sekitar 30 km dari Surabaya: pertengahan antara Surabaya-Mojokerto. Ayah-ibunyi sudah sering dia ajak ke Amerika. Apalagi ayahnyi. Hampir tiap tahun.
Setelah tiga anaknyi menjadi warga negara Amerika, tinggal Ari yang masih berpaspor Indonesia. Dia punya kesempatan besar untuk juga pindah warga negara. "Tidak masalah," kata saya. "Yang penting hati Anda tetap Indonesia".
Apa pun warga negaranya, orang seperti Ari akan tetap menjadi kekayaan Indonesia.(Dahlan Iskan)