Kereta Luxury
--
Gerbong kelas luxury ini ditempatkan agak paling belakang. Aneh. Saya lupa bertanya mengapa begitu. Mahal tapi jalan kakinya lebih jauh. Baik saat naik maupun saat turun kelak.
Saya tidak mempersoalkan yang tidak logis seperti itu. Saya masih kuat jalan. Toh tidak membawa koper. Saya hanya membawa tas kresek isi satu baju –lupa tidak mengembalikan jas pinjaman dari Syekh Panji Gumilang dua tahun lalu.
Begitu masuk gerbong saya sempat terpana: bagus. Seperti di pesawat kelas bisnis internasional.
Saya coba atur tempat duduk menjadi tempat tidur. Bisa. Penggerak elektroniknya baik. Memang pilihan materialnya tidak sebaik di pesawat, tapi cukup baik.
Sebelum tidur saya hitung dulu jumlah kursi yang terisi: 14 orang. Berarti 50 persen. Saya coba bertanya ke beberapa orang: mengapa pilih kelas mahal.
"Saya takut naik pesawat," ujar seorang ai lantas tersenyum. Dia akan ke Jakarta. Bersama suami.
Ai adalah panggilan untuk wanita Tionghoa yang berarti tante. Setiap ke Jakarta dia naik luxury.
"Bagaimana kalau ke luar negeri"?
"Terpaksa naik pesawat. Kan tidak ada jalan lain," jawabnyi. Lalu dia minta foto bersama.
Satu penumpang lagi punya alasan lain: bisa tidur. Lalu bangun-bangun sudah di Jakarta. Langsung bekerja. Daripada bayar hotel di Jakarta.
Saya pun langsung tidur. Disediakan selimut. Perut sudah kenyang. Tidak akan makan apa pun lagi pada jam seperti itu.
Belum lagi terlelap pramugari kereta membangunkan. Saya pura-pura sudah tidur. Terus saja dia membangunkan. Saya ingin adu kuat. Akhirnya dia terdengar pergi.
Dalam hati saya agak mendongkol. Tapi salah saya sendiri: mengapa tidak meninggalkan pesan jangan dibangunkan untuk makan.
Di pesawat saya selalu berpesan pada pramugari: kalau tertidur jangan dibangunkan. Bagi orang seperti saya tidur lebih penting daripada makan.
Masalahnya: saya tidak mengira kalau akan ada makan malam. Tidak lama kemudian sang pramugari datang lagi. Membangunkan lagi. Saya tetap pura-pura sudah tidur. Pun ketika dibangunkan beberapa kali.