Pemilu Dungu
--
Oleh: Dahlan Iskan
Kita harus malu atau sebatas hanya bisa iri? Ataukah kita cukup mengaguminya saja?
Ini soal Pemilu. Dalam kaitannya dengan ekonomi. Pemilu sudah lama berlalu tapi ekonomi belum menentu. Pelaku ekonomi masih terus dalam status wait and see.
Wait and see itu sudah dimulai sejak tahun baru: alasan mereka tunggu Pemilu. Ricuh atau tidak. Lalu lihat dulu siapa yang menang.
Setelah Pemilu berlangsung dan akan ternyata masih juga wait and see. Tunggu pelantikan presiden baru. Waktunya masih lama. Wait and see-nya juga ikut berlarut-larut.
Setelah pelantikan kelak pun masih ada tambahan waktu wait and see: tunggu seperti apa susunan kabinetnya. Kabinet dagang sapi atau kabinet meritokrasi. Kalau kabinetnya gabungan dua kutub itu maka, wait and see: siapa yang pegang posisi-posisi kunci. Orang partai atau profesional.
Setelah susunan kabinet diumumkan pun masih perlu wait and see lagi: tunggu 100 hari pemerintahan, ada tanda-tanda bisa bekerja atau hanya sibuk urus kepentingan bisnis yang lagi berkuasa.
Kita begitu iri melihat Inggris. Tanggal 4 Juli Pemilu, tanggal 5 Juli pemerintahan baru terbentuk. Langsung bekerja. Perdana menteri Inggris yang baru, Keir Starmer, langsung mengumumkan susunan menteri: 13 laki-laki, 13 perempuan. Tentu semua dari Partai Buruh, sebagai pemenang Pemilu 2024.
PM Keir Starmer adalah perdana menteri Inggris pertama yang secara terbuka mengatakan dirinya tidak bertuhan. Tidak beragama. Ia juga seorang pescetarianism, yakni satu kelas di atas vegetarian. Kata itu gabungan antara pesce dan vegetarian. Pesce artinya ikan. Jadi pemimpin baru Inggris itu hanya makan sayuran dengan sumber protein hanya dari ikan. Ia tidak makan daging apa pun.
Karena tidak beragama maka pengambilan sumpahnya diganti dengan pernyataan pengabdian yang kalimatnya dipilih yang tidak ada “bau” Tuhannya.
Seminggu kemudian parlemen baru sudah mulai bersidang: pemilihan ketua DPR.
Proses politik itu begitu cepatnya. Meski wait and see adalah kata-kata dalam bahasa Inggris tapi Inggris tidak menggunakannya. Proses politik tidak sampai mengorbankan ekonomi.
Pun negara yang dianggap belum maju seperti Iran. Putaran kedua Pilpresnya pun sudah bisa dilangsungkan seminggu setelah Pilpres putaran pertama.
Sudah lima kali kita Pemilu dengan masa wait and see yang masih sama. Apakah lima kali Pemilu belum cukup untuk jadi bahan pelajaran? Begitu dungukah kita sehingga sudah belajar 25 tahun belum juga naik kelas? (Dahlan Iskan)