Robert Pebble
--
Maka sebelum menyaksikan sunset di pantai Carmel, kami makan dulu. Kevin pilihkan kami restoran Jepang: Toro. Dekat pantai. Dapat meja di luar. Justru lebih indah. Bahwa terlalu sejuk, pelayan menyalakan obor dari gas di dekat meja makan. Duh, romantisnya --kalau saja kami masih muda.
Melihat saya dan Kevin ngobrol dalam bahasa Jawa, Si cantik di resto itu mendekat: "Dari Indonesia ya?" tanyanyi dalam Bahasa Indonesia.
Dia ternyata anak Jogja asal Lampung. Kuliah di dekat kota ini. Sambil bekerja. Lalu dia menyajikan sepiring sushi lagi, sushi lain yang tidak kami pesan. "Ini hadiah dari chef kami. Orang Indonesia juga," katanyi.
Begitu kami meninggalkan Toro, chef itu mengejar: ia memperkenalkan diri. Anak muda. Asal
Jakarta. Namanya: Mohammad. Ia ternyata sudah keliling Amerika. Jadi chef resto Jepang di kota-kota besar di sana.
Di kota sekecil dan sejauh ini pun ada putra kita yang tidak mau jadi generasi penyesal diri.
Sebagai kota wisata, pukul 06.30 Carmel masih ngorok. Enak-enaknya tidur. Saya jadi leluasa senam dansa sendirian di taman depan hotel.
Satu jam kemudian pun pada belum bangun. Saya harus disiplin olahraga. Perjalanan ini melelahkan.
Kalau nuruti perasaan rasanya begitu tiba dari satu rute langsung ingin tidur. Saya paksakan olahraga dulu setiap sebelum mandi malam. Pun ketika masih di gurun. Selalu setengah jam sebelum tidur. Lalu 45 menit keesokan paginya.(**)