Alpukat Sigit
Tungku itu dibangun di pinggir desa. Di tanah yang konturnya miring drastis. Sigit memanfaatkan kemiringan tanah itu untuk mempermudah aliran sampah.
Sampah ditumpahkan dari truk ke lantai beton yang miring 45 derajat. Sampah itu meluncur ke bawah tanpa harus di buldozer. Lalu dimasukkan ke mulut tungku. Dijejalkan pakai tongkat. Masuklah ke tungku.
Posisi tungkunya lebih rendah lagi. Memanfaatkan tanah miring yang lebih bawah. Saya pun turun. Melihat bagian bawah tungku. Semua sama dengan apa yang sudah saya tulis di Disway pekan lalu (lihat Disway 21 November 2023: Tungku Sigit).
Sayangnya kemarin itu lagi tidak ada setoran sampah. Sampahnya sudah habis dibakar. Tunggu kedatangan sampah baru dari pondok pesantren Temboro. Tungku itu sudah lima hari mati. Tapi dalamnya masih sangat panas. Kalau hari ini ada sampah datang bisa langsung dimasukkan tungku. Masih bisa langsung terbakar. Panas di dalam tungku masih tinggi.
Tentu tidak semua daerah punya tanah dengan kontur seperti di Taji. Berarti tungkunya harus dibangun di tanah datar. Posisi mulut tungku menjadi sangat tinggi. Sampah harus dinaikkan untuk bisa masuk mulutnya. ''Bisa dinaikkan pakai skru (screw conveyor),'' kata Sigit. Berarti harus ada tambahan alat penarik sampah.
Saya lihat tungku sampah ciptaan Sigit ini jalan keluar untuk kota-kota di Indonesia. Bukan untuk desa seperti Taji –yang sampah rumah tangganya sudah jadi pupuk di rumah masing-masing. Tungku Sigit lebih banyak nganggur. Apalagi kalau sedang tidak ada kegiatan besar di pondok Temboro. Sesekali Temboro memang didatangi puluhan ribu jamaah selama satu minggu. Sampahnya banyak sekali. Lokasi tungku Sigit hanya sekitar 300 meter dari pintu belakang pondok.
Saya lihat beberapa pekerja sibuk di sebelah tungku. Banyak plat baja lagi dirangkai. Rupanya Sigit sudah dapat pesanan. Dua tungku untuk Probolinggo dan satu tungku untuk pondok modern Gontor Ponorogo.
''Yang untuk Probolinggo seminggu lagi sudah bisa jadi,'' katanya. Sigit akan ke Probolinggo saat pemasangan nanti: menyupervisi tenaga yang mengerjakan di sana.
Plat bajanya dirangkai di Taji. Bata merahnya dibeli dari Desa Winong –terkenal sebagai produsen genteng bermutu. ''Saya harus pilih sendiri batanya. Tidak boleh bata yang dicampur sekam. Tidak bisa tahan lama,'' kata Sigit.
Ternyata justru Probolinggo pemakai pertama Tungku Sigit. Bukan Magetan. Begitulah dunia: pun boneka kayu beranak boneka kayu. Sangat terkenal di Rusia sebagai boneka Rusia. Saya malu ketika membelinya di Rusia dan ketahuan oleh pemilik pabrik yang membuatnya di Surabaya. (*)