Catat Sejarah
Tentu tidak mudah media mengendusnya. Satu-satunya yang mendengar pembicaraan itu hanyalah ajudan presiden. Itu pun duduknya di kursi depan. Tentu ada juga sopir. Tapi konsentrasinya di jalan raya.
Kesan publik yang dimunculkan di media: keduanya baik-baik saja. Buktinya pulang dari pelaminan satu mobil. Bahkan satu pesawat.
Maka satu rantai catatan sejarah pun bogang. Ibarat susunan gigi, ada satu gigi yang masih hilang.
Mungkin Ganjar yang akan mengungkapkannya. Kelak. 30 tahun lagi. Atau mungkin Jokowi sendiri tidak lama lagi. Atau sepenggal sejarah itu hilang mereka bawa mati.
Rumor yang justru mencatatnya: sebelum ke pelaminan itu Ganjar menandatangani semacam piagam kesetiaan hanya kepada Megawati –sebagai ketua umum partai. Tapi rumor bukan catatan sejarah. Bukan kebenaran.
Apalagi rumor tidak ada yang berbentuk catatan. Ia beredar luas di kalangan politisi. Dalam bentuk bisik-bisik. Tidak bisa dipastikan kebenarannya. Belum ada media yang mengubahnya menjadi catatan sejarah.
Media mencatat: Erick Thohir termasuk yang dipromosikan oleh Jokowi menjadi salah satu calon wakil presiden. Seperti juga Ganjar, Erick pun bergerak ke mana-mana. Ke segala arah. Sampai ikut ujian untuk dapat status anggota Banser –bersertifikat. Juga sampai ke toilet-toilet rest area. Pun sampai bilik-bilik ATM.
Tingginya popularitas Ganjar ditambah dukungan Erick lewat Banser dan bintang sembilannya, ditambah lagi logistiknya, bisa jadi hanya perlu satu putaran Pilpres. Dengan demikian PDI-Perjuangan tetap berkuasa, program Jokowi berlanjut.
Tapi sejarah punya maunya sendiri. Megawati punya mau sendiri.
Kemauan Jokowi pun kalah.
Tapi ia punya mau.
Media mencatat: kita kembali punya tiga pasangan capres-cawapres. Kembali boros. Kembali berlarut. Memperpanjang ketidakpastian.
Media TIDAK mencatat: benarkah Jokowi masih punya usaha terakhir: yakni menggabungkan Prabowo (capres) dan Ganjar (cawapres). Rumornya sangat luas. Tapi tidak ada catatan di media apakah itu benar. Apalagi Ganjar sudah telanjur naik pelaminan sebagai capres.
Kesadaran media sebagai pencatat sejarah terlihat menurun. Jangan-jangan ini akibat pengaruh medsos yang serbainstan.
Jangan-jangan medsos juga yang membuat orang lupa salah satu fungsi media adalah pencatat sejarah. Media seolah sudah berubah menjadi alat fitnah –fitnah yang dahsyat. Padahal fitnah lebih kejam daripada bukan fitnah. (*)