RAKYATBENTENG.BACAKORAN.CO - Kekalahan Paslon Nomor Urut 1, Rachmat Riyanto-Tarmizi di kandang Ketua Tim Pemenangan Keluarga, Fepi Suheri jadi topik perbincangan menarik banyak kalangan. Bagaimana tidak? Selain karena menjabat Ketua PPP, partai yang memperoleh kursi terbanyak di DPRD Kabupaten Bengkulu Tengah, torehan keberhasilan Fepi sendiri mendulang banyak suara pada Pileg diyakini salah satu yang mendasari penunjukkan dirinya sebagai Ketua Tim Pemenangan Keluarga. Dan sejak awal deklarasi hingga akhir masa kampanye Fepi terpantau all out mengkampanyekan pasangan yang diusung oleh 10 Parpol tersebut.
Fakta mengejutkan, perolehan suara Rachmat-Tarmizi di bawah Paslon Nomor Urut 2, Evi Susanti-Rico Z Saputra. di TPS 1 Desa Dusun Baru II Kecamatan Karang Tinggi, Paslon 1 Rachmat Riyanto-Tarmizi hanya meraih 131 suara, sementara Paslon 2, Evi Susanti-Rico Z Saputra memperoleh 226 suara dan Paslon 3, Sri Budiman-Septi Peryadi meraih 6 suara. Di TPS 2, Paslon 1 juga kalah dengan hanya memperoleh 186 suara, sementara Paslon 2 meraih 193 suara dan Paslon 3 hanya meraih 3 suara.
Menurut pengamat Politik Universitas Bengkulu (Unib), Dr. Yunilisiah, M.Si mengatakan, ada beberapa faktor yang mendasari kekalahan dalam pertarungan di kandang sendiri. Dalam politik diantaranya memiliki ekspektasi lebih tinggi terhadap kandidat dari tempat tinggalnya.
Sementara kandidat tidak dapat memenuhi, menganggap daerahnya zona nyaman sehingga tidak efektif dalam kampanye dan ada persaingan politik antar hubungan keluarga atau kelompok dari daerahnya.
"Selain itu, kandidat lain berkompetitor lebih berhasil mendekati masyarakat. Yang pendukung memiliki rekam jejak yang kurang baik di masyarakat dan jika incumbent, masyarakat kecewa dengan kinerjanya. Itu adalah beberapa hal yang menyebabkan kekalahan," jelas Yuni yang mendapat sebagai Dekan ini.
Yuni menambahkan, bukan hanya dari persoalan yang telah diuraikan diatas, akan tetapi tentang bagaimana cara agar efektif berkampanye yang lebih matang. Serta bersumber dari faktor sentimen lokal.
"Kampanyenya tidak lebih menarik dari kandidat yang lain, sebagai contoh. Intinya bersumber dari faktor sentimen lokal. Misalnya merasa tidak mewakili mereka atau dianggap tidak lagi memahami kebutuhan masyarakat kecil. Bisa juga dinamika sosial dan politik lokal kondisi ini memicu suara terbagi,"jelas Yuni.(one)