Sementara itu, dari riset soal pilihan makanan yang dikutip oleh Khoirul, kesadaran Gen Z terhadap kesehatan terbilang tinggi. Mereka lebih memilih makanan yang sehat dan ramah lingkungan.
“Tapi, dalam eksekusinya tidak selalu terjadi. Secara sikap mereka memilih makanan yang punya dampak positif terhadap lingkungan. Beberapa sudah melakukannya, beberapa lainnya belum,” kata Khoirul.
Yang menjadi concern Khoirul, ketika orang sudah memilih healthy food, tapi konsumsinya tidak optimal, ujungnya malah membuang-buang zat gizi.
“Misalnya, porsi protein di piringnya sudah sesuai dengan kebutuhan, tapi hanya dikonsumsi setengah saja, hingga akhirnya menjadi food waste. Hal ini perlu dicegah agar tidak sampai terjadi. Zat gizi yang sudah tersedia malah terbuang sia-sia,” kata Khoirul.
Pilih makanan dari sekitar kita
Karena kita banyak membaca rekomendasi bahan makanan dari sumber informasi luar negeri, maka pangan bergizi tinggi yang kita ketahui antara lain salmon dan whole grain.
“Padahal, whole grain tidak menjadi produk utama di Indonesia. Kita juga bukan penghasil utama ikan salmon. tapi kita kaya akan banyak jenis ikan di Indonesia selain salmon,” kata Khoirul.
Ia menjelaskan, ketika berbicara soal kacang-kacangan, orang akan berpikir tentang almond. Sementara itu, kacang hijau yang harganya murah mempunyai nilai gizi yang tinggi.
“Hanya saja, orang memilih almond karena lebih bergengsi. Bahan pangan pengganti yang setara itu banyak. Masalahnya, ketika orang tidak terpapar terhadap bahan tersebut, maka dia tidak tahu bahwa makanan itu ada.”
Tak harus puasa makanan viral
Berkat media sosial, suatu jenis makanan atau minuman baru gampang sekali jadi viral. Karena tampilannya menggoda dan antreannya panjang, tidak aneh kalau kita jadi ingin ikut membeli. Anda termasuk gemar berburu makanan atau minuman yang sedang viral?
Ternyata, kesadaran akan makan sehat bukan berarti tidak boleh menjajal makanan viral, lho.
“Keinginan untuk mencoba makanan baru tidak masalah, kok. Dengan begitu, kita jadi tahu dan tidak penasaran. Positifnya, setelah mencoba, kita jadi tidak menyalahkan makanan apa pun. Kita cenderung menyalahkan, karena tidak tahu. Tapi, ada negatifnya juga, kalau mencobanya terlalu banyak dan jadi kebablasan,” kata Khoirul, yang juga merupakan dosen Program Studi Gizi, Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan, Universitas Sahid Jakarta.
Ia justru menyarankan agar kita menyusun jadwal khusus untuk mencicip makanan baru, misalnya satu atau dua kali dalam satu minggu.
Tujuannya untuk sekadar mengetahui. Jika sudah melihat dan mencicipi, kita bisa mengidentifikasi plus dan minus dari makanan tersebut, sehingga kemudian bisa memutuskan apakah makanan tersebut baik bagi tubuh.
Jaqualine menyebutkan, “Tidak ada makanan yang benar-benar salah, kecuali dikonsumsi berlebihan. Karena itu, kita perlu kembali ke konsep Seimbang dalam panduan SELARAS.” Artinya, kalau siang tadi sudah mengonsumsi makanan viral sarat gula, sore hari sebaiknya tidak lagi ngemil makanan yang bergula juga,” tegasnya.