Selesai sport dance acara dibagi dua. Perusuh Disway memisahkan diri dari peserta senam. Perusuh masih punya satu agenda lagi: pleno kedua. Di bawah pohon.
Sebenarnya sudah disiapkan tenda. Tapi begitu banyak pohon besar nan rindang ke lokasi Prambanan ini. Dan lagi Inneke telah membeli tikar. Banyak sekali. Maka pleno kedua pun dilakukan sambil lesehan di atas tikar.
Tikarnya sendiri dihampar di bawah pohon besar. Pohon asam Jawa. Rindang. Teduh. Damai. Apalagi
angin sumilir berembus pelan. Luar biasa. Nyaman banar. Suasana itu sebenarnya tidak cocok untuk pleno yang menguras pikiran.
Apalagi baru saja makan.
Lelah. Minum. Makan. Tikar. Di bawah pohon rindang. Tinggal satu sayangnya: tidak ada bantal.
Maka inilah pleno yang menantang: berpikir sambil mengantuk. Rupanya berpikir bisa membunuh kantuk. Buktinya, agenda serius dibahas dengan antusias.
Agenda itu datang dari perusuh sendiri: apa yang mereka hadapi. Atau apa yang dihadapi masyarakat sekitar mereka.
Maka kami bahas tiga agenda utama: pendidikan, pertanian, dan penyediaan pupuk. Soal keperkasaan tidak diusulkan dibahas lagi.
Lalu siapa juara kedua dan ketiganya? Yang pialanya akan diserahkan di muktamar ke-3 perusuh tahun depan di Cianjur atau Sukabumi?
Saya pilih Pak Johannes Kitono dan Pak Novrianto Indra Huseni.
Pak JK mampu memberikan pencerahan yang sangat terang di banyak hal: emas, pupuk, saraf, pendidikan.
Novri bisa bercerita detail tentang problem petani dan penduduk desa. Novri memang perangkat desa. Di Blitar. Ia adalah perangkat desa yang bukan biasa-biasa saja.
Matahari kian tinggi. Angin bertiup kian sejuk. Satu perusuh wanita mulai tewas di tikar. Tapi odong-odong sudah menanti: harus kembali ke hotel. Harus pulang ke daerah masing-masing.
Candi Prambanan nan indah pun mulai dipenuhi pengunjung. Stupa di puncaknya seperti tersenyum melambaikan selamat jalan.(*)