Oleh: Dahlan Iskan
SAYA heran. Kok dua teman saya di Shenzhen ini terus minum ?? –minuman keras. Sepanjang makan malam kemarin. Bukankah sepanjang hari itu ia mengemudi mobil? Dari Guangzhou ke Foshan, lalu lanjut ke Shenzhen?
Bukankah mereka masih akan mengemudi lagi untuk mengantarkan saya ke hotel? Tidakkah ia nanti ditangkap polisi karena ketahuan baru saja minum minuman keras?
Dua teman saya dari Jakarta pun ikut minum bai jiu. Tinggal saya yang boleh mengemudi. Jangan-jangan saya yang akan diminta pegang setir. Tapi, itu tidak mungkin. Mereka tidak akan menyerahkan Denza itu ke saya. Saya tidak punya SIM yang berlaku di Tiongkok.
Akhirnya saya tanyakan itu langsung kepada mereka: siapa yang nanti pegang kemudi? Ternyata bukan saya. Mereka sudah punya jalan keluar. Khas Tiongkok zaman sekarang. Tidak mungkin cara itu bisa dilakukan di Amerika Serikat –biarpun sama-sama suka minum dan sama-sama punya teknologinya.
Aplikasi!
Aplikasilah yang akhirnya membuat hobi mereka minum bir, anggur merah, dan bai jiu tidak lagi terhambat oleh aturan.
Dulu, di satu meja makan, saya selalu punya teman yang tidak minum bai jiu. Yakni, salah satu yang akan bertugas mengemudi.
Tapi, dengan adanya aplikasi itu, saya pun mati kutu. Hanya saya yang tidak minum. Apa boleh buat. Pakai alasan pernah transplantasi hati –dan mereka mengerti.
Tidak usah khawatir, kata mereka. Kini sudah ada aplikasi untuk mendatangkan sopir panggilan!
"Nanti Bapak bisa lihat sendiri," kata mereka.
Maka, gelas kecil bai jiu pun terus berdenting. Saling sulang. Sepanjang dua jam makan malam. ”Gan bai!”
Malam itu menunya baru –untuk saya. Hotpot, tapi bukan mirip Haidilao. Juga, tidak mirip gaya Sichuan, Mongolia, maupun Niu Jie-nya muslim Beijing.
Ini hotpot bubur.
Ada bubur nasi encer di panci di tengah meja. Kompornya listrik. Bubur mendidih. Panas. Uap mengepul. Irisan-irisan ikan kerapu dimasukkan ke bubur itu. Diaduk. Matang. Irisan ikannya diangkat. Disajikan.