POLKUM - Forum Advokat Pemantau Kecurangan Pemilu (FAPKP) resmi dibentuk demi mewujudkan Pemilu 2024 yang jurdil (jujur dan adil) serta bermartabat.
Koordinator FKPKP Alvon Kurnia Palma mengungkapkan pembentukan ini dilatarbelakangi kekhawatiran dugaan adanya pelanggaran atas prinsip Pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, dan jurdil.
Menurutnya, hal ini tidak terlepas dari adanya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/11/2023 yang meyakinkan adanya pelanggaran etik berat tidak saja pada satu orang, melainkan keseluruhan hakim konstitusi terkait Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
"Kami bersepakat untuk membentuk FAPKP demi menjalankan amanah konstitusi serta cita-cita luhur bangsa yang menganut prinsip kedaulatan rakyat dan mewujudkan pemilu yang jurdil serta bermartabat," ujar Alvon Kurnia dalam keterangannya yang diterima, Kamis (14/12).
Alvon menyampaikan FAPKP memandang perlu untuk melakukan beberapa program pemantauan pemilu jurdil dengan penekanan kepada isu penting tentang netralitas aparat penegak hukum dan aparatur sipil negara (ASN).
"Dalam waktu dekat, kami akan turun ke berbagai wilayah di Indonesia yang menurut kami perlu dipantau secara khusus, di antaranya Jawa Tengah, Banten, Jawa Barat, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Timur,” ujar Alvon.
Pemantauan ini, kata Alvon, FAPKP akan melibatkan sejumlah pihak terkait, termasuk mahasiswa sebagai elemen masyarakat sipil.
“Hasil pemantauan yang dilakukan ini akan kami tabulasikan serta kami umumkan ke publik,” tegas Alvon.
Saat ini, lanjut dia, FAPKP telah berkontribusi dalam memastikan pemilu yang menjalankan prinsip Luber dan Jurdil, seperti mendaftarkan gugatan pembatalan Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1623 tahun 2023 tentang Penetapan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, Rabu (6/12).
Hal ini juga telah diregistrasi oleh Mahkamah Agung melalui sistem pendaftaran online atau e-court Mahkamah Agung dengan Nomor Perkara : 637/G/2023/PTUN.JKT karena bertentangan dengan nilai, prinsip dan kaidah hukum sebagaimana negara hukum (rechtstate) adanya.
“Gugatan ini diajukan oleh dua pemohon Warga Negara Indonesia, yakni Syukur Destielo Gulo yang berprofesi sebagai calon advokat muda atau asisten advokat dan seorang mahasiswa bernama Jhonatan Glen Pirma Panjaitan. Keduanya memberikan kuasa kepada FAPKP," terangnya.
FAPKP mengajukan gugatan tersebut, setelah sebelumnya melayangkan keberatan atau pengaduan sengketa proses pemilu ke Bawaslu sejak 16 November 2023 dan hingga 14 hari sejak didaftarkan tidak kunjung diregistrasi dan atau diproses oleh Bawaslu.
“Pengajuan gugatan ke PTUN ini tentu sejalan dengan peraturan perundang-undangan, SK KPU adalah objek TUN dan secara khusus tentu dalam ranah hukum kepemiluan, PTUN diberi kewenangan untuk menanganinya," jelasnya.
Dia menyampakan beberapa alasan diajukannya pemohonan ini, yakni FAPKP memandang bahwa KTUN Obyek Sengketa yang dibuat berdasarkan Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2023 tanpa mempertimbangkan Putusan MKMK Nomor 2/MKMK/L/11/2023 adalah cacat hukum subtansi dan prosedural.
KTUN sebagai objek sengketa yang berkonsekuensi batal demi hukum (nietig) atau setidaknya dapat dibatalkan (vernietig baar), karena melanggar asas legalitas, undang-undang dan asas-asas pemerintahan yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Ayat (1) Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.