Oleh: Dahlan Iskan
"Hah? Ada yang ambil prodi teknologi kereta cepat? Kok kami tidak tahu ya?".
Kami memang mengundang direksi perusahaan kereta cepat Tiongkok Senin kemarin. Acara kami: pelepasan 180 calon mahasiswa yang akan kuliah di sembilan universitas di Tiongkok daratan dan di Taiwan.
Yang saya maksud dengan ''kami'' adalah Yayasan Pusat Kebudayaan Indonesia Tiongkok (ITC Center). Yang saya dirikan sekitar 15 tahun lalu bersama Lily Yoshica yang sekarang jadi ketuanya.
Sebelum Covid-19, tiap tahun, ITC Center memberangkatkan sekitar 350 calon mahasiswa.
Selama Covid kami nonaktif.
Setelah Covid berlalu, kami mulai lagi.
Tahun lalu kurang dari 100 orang. Tahun ini sudah 180 orang. Tahun depan, rasanya, sudah bisa kembali ke angka 350 orang.
Sejak 15 tahun lalu itu ITC Center dipercaya pemerintah Tiongkok dan Taiwan untuk menyeleksi calon mahasiswa dari Indonesia yang ingin kuliah di sana. Jurusan apa saja.
Beasiswanya terbatas: kuliah dan asramanya gratis. Makan dan tiket pulang-pergi ditanggung sendiri. Ada juga yang makannya ditanggung. Beserta tiketnya.
Kedatangan Vice President CRRC Mr Zhang Anying dan GM CRRC Sifang Indonesia Mr Li Zhenwei didampingi direksi dari Whoosh Indonesia, Allan Tandiono. Allan lulusan NUS Singapura dan Peking University, Beijing.
Mereka menyesal sekali baru tahu ada program ini. Mereka pun berharap agar lulusan program ITC Center mau bekerja di Whoosh kelak. Apalagi setelah tahu di antara mahasiswa itu ada yang ambil prodi teknologi kereta cepat di Nanjing University. Bahkan ada yang ambil jurusan persinyalan kereta cepat.
Kantor pusat industri kereta cepat Tiongkok ternyata di sebuah kabupaten di provinsi Shandong. Di Qingdao. Tepatnya 40 km di sebelah barat Qingdao.
Pun kereta tanpa rel yang dipakai di IKN saat 17 Agustusan lalu. Itu buatan langsung CRRC Qingdao. Bukan buatan cabangnya yang di Hunan.
Saya pun ingat bahwa di zaman penjajahan dulu Qingdao dikuasai oleh Jerman.