Barulah saya tahu: itu bukan batik biasa. Itu adalah baju batik yang sudah berumur 25 tahun. Itulah baju batik yang dikenakan Syekh saat meletakkan batu pertama pembangunan Al Zaytun 25 tahun lalu.
Setelah itu batik tersebut hanya satu kali lagi dipakai: saat menemui Wakil Presiden (waktu itu) Try Sutrisno di Surabaya.
Saya tidak bisa mengikuti puncak acara sampai selesai. Saya harus buru-buru ke Jakarta. Tapi saya diminta menanam pohon dulu. Lokasinya jauh dari masjid. Yakni di pinggir jalan baru yang sedang dibangun Al Zaytun.
Jalan baru itu panjangnya dua kilometer. Itulah rencana jalan menuju gerbang baru: gerbang barat. Kalau jalan itu nanti selesai lengkaplah Al Zaytun memiliki empat gerbang di empat penjuru angin.
Saya tertegun sampai di lokasi penanaman pohon. Pohon jati yang akan ditanam sudah besar. Sudah berumur empat tahun. Sudah setinggi lebih enam meter. Berarti deretan pohon di sepanjang jalan baru itu nanti adalah pohon yang langsung sudah rindang.
Saya pun tertegun melihat cara Al Zaytun memindahkan pohon besar: pakai alat berat jenis Big John. Saya sering melihat cara kerja mesin seperti itu di TikTok. Dengan berdecak kagum. Kali ini saya melihatnya di kenyataan.
Alat berat itu memiliki ''kuku kuku besi'' yang besar nan tajam. ''Kuku'' itu menghunjam tanah di sekeliling pohon. Lalu menjebol pohon besar tersebut berikut akar dan tanahnya. Dibawa ke lokasi baru. Dimasukkan ke lubang besar yang juga dibuat dengan alat berat.
Maka sebenarnya bukan saya yang menanam pohon itu. Big John-lah yang melakukannya. Setiap tamu VIP memang diminta ''menanam'' pohon di pinggir jalan baru tersebut.
Pohon yang dipindahkan itu berasal dari lingkungan Al Zaytun sendiri. Saat awal menanam jati dulu jarak tanamnya dibuat lebih rapat. Kian tahun dilakukan penjarangan. Tidak dengan cara ditebang tapi dipindahkan.
Rasanya mustahil program seperti ini bisa dilakukan tanpa Big John. Tapi bahwa ada pesantren yang terpikir membeli Big John baru saya lihat di Al Zaytun.
Ternyata, di Indonesia, memang baru ada dua mesin pemindah pohon seperti itu. Satu di Al Zaytun. Satunya lagi milik Djarum.
Saya lama menatap Big John. Membayangkan berapa miliar rupiah harganya.
Saya sampai lupa di mana sepatu saya. Maka saya ke lokasi penanaman pohon berjalan kaki tanpa sepatu. Dari masjid ke jalan nun baru.
Di bawah terik matahari kemarau Indramayu. Tapi sebagai orang dari desa masih ingat cara jalan tanpa sepatu di musim panas: jalanlah lebih banyak pakai tumit yang kulitnya lebih tebal.(DAHLAN ISKAN)