Oleh: Dahlan Iskan
Kevin harus "zoom". Pukul 17.00 waktu California. Berarti pukul 07.00 di Semarang. Sekolahnya, Kolese Loyola, minta Kevin Herjono memberikan motivasi untuk siswa di sana.
Maka sejak satu jam sebelum Carmel ganti saya yang jadi sopir. Yakni sejak memasuki pegunungan yang penuh kebun anggur itu: Tapa.
Turis banyak yang berhenti di pegunungan ini: minum wine bikinan pabrik di atas gunung itu. Suami Janet menolak tawaran saya untuk mencoba minum anggur merah California.
Awalnya Kevin akan "zoom" pakai earphone. Saya bilang padanya: bolehkah ikut mendengarkannya. Maka satu jam itu saya tahu perjalanan hidup anak muda itu.
Kevin terobsesi kuliah di Amerika dari pamannya. Sang paman bekerja di Chicago. Sejak remaja ia membayangkan enaknya Amerika.
Kevin menyadari keterbatasan diri dan keluarganya. Ayahnya seorang pengacara di Semarang tapi bukan pengacara kaya.
Ia sendiri tahu diri: bukan tergolong paling pintar di kelasnya. Juga bukan kelas IPA. Ia IPS. Kemampuan bahasa Inggrisnya pun belum bagus.
Maka ia cari sendiri tempat kuliah yang bukan untuk para bintang. Ia masuk universitas yang tidak berbintang.
Universitas itu ada di kota kecil Savanah, pelosok tenggara Georgia. Ia harus masuk kelas bahasa dulu selama enam bulan.
Agar istimewa Kevin mencari mata kuliah yang tidak umum. Jalan pikirannya: apa yang kira-kira akan dibutuhkan di Indonesia 10 tahun setelah ia masuk kuliah.
Ia putuskan: special effect. Ia meleset dengan perkiraan 10 tahunnya itu tapi itulah jalan hidupnya sampai dapat pekerjaan di grup Walt Disney.
Waktu memilih jurusan itu Kevin punya kendala besar: ia tidak bisa menggambar. Pun tidak menyukai menggambar. Profesor di kampus itu yang mengubah cara berpikirnya.
"Saya tidak bisa menggambar," ujar Kevin pada profesor itu.
"Justru kalau kamu sudah bisa menggambar untuk apa ambil jurusan ini."