Air yang saya minum sejak bangun tidur lebih satu liter. Yang sudah diekspor baru 300 mili. Selebihnya harus cari jalan keluar.
Satu jam berikutnya tidak tahan lagi. Petugas datang ke tempat Antrean. "Jangan meninggalkan antrean," teriaknya beberapa kali.
Erick, putra tunggal Lia dan James F Sunday sudah bersama saya. Saya lirik tangannya: memegang botol minuman. Masih ada airnya. Sedikit. Botol itu saya minta.
"Untuk apa?"
"Ada deh".
Ia berikan botol itu. Saya buang airnya. Ia pun tahu --mestinya. Saya ke balik pohon lagi.
Saya juga terpikir fikh Islam seperti perusuh M Zainal Arifin di komentarnya kemarin. Tapi fikh juga mengatur hal-hal darurat. Trump yang bikin fikh darurat.
"Anda dari partai Republik?" tanya saya pada Si pirang.
"Saya Demokrat".
"Anda Republik?" tanya saya ke Si ceriwis.
"Demokrat". Lalu ceramah soal mengapa Demokrat.
"Anda Republik?” tanya saya ke laki-laki jangkung yang juga lebih setengah baya.
"Demokrat".
Demokrat. Demokrat. Demokrat. Semua Demokrat.
Ada satu yang Republik. Wanita. Setengah baya. Berpakaian cantik. Seperti baru keluar dari salon. Atau dia tidur tengkurap tadi malam setelah dari salon kemarin sore.
Si salon tidak ikut antre. Dia mondar-mandir di sebelah antrean. Dari belakang ke depan, balik lagi ke belakang. Dia berteriak-teriak memuji Trump. Memaki Presiden Joe Biden.