Oleh: Dahlan Iskan
SAYA minta diantar ke mal teramai di Riyadh: ingin tahu seberapa berubah penampilan wanita Arab di depan umum. Di zaman pemerintahan putra mahkota Mohamad bin Salman yang banyak bikin perubahan itu. Lalu ke mal yang paling elite di Kingdom Tower.
Kesimpulan saya: dari 100 wanita di mal itu, masih 70 orang yang pakai penutup wajah. Yang 20 orang lagi pakai kerudung tapi rambut bagian depan mereka diperlihatkan. Hanya 10 orang yang tanpa kerudung sama sekali.
Berarti perubahan besar yang banyak diberitakan belakangan ini ternyata tidak terlalu mencolok. Setidaknya tidak sedramatis yang ada di media.
Saya memang melihat beberapa wanita sudah mengendarai mobil. Ini baru. Tapi wanita bermobil yang saya lihat itu juga masih pakai penutup wajah.
Rupanya mereka sudah bebas di sikap tapi masih pegang tradisi di pakaian. Juga warna abaya dan penutup wajah itu: serbahitam.
Di kereta api menuju Riyadh terlihat lebih banyak lagi yang pakai penutup wajah.
"Itu karena keretanya dari jurusan Buraydah," ujar Harun Akbar yang menemani saya. "Buraydah terkenal sebagai kota santri. Lebih konservatif," tambahnya. Sangat Wahabi.
Apakah di musim panas pakaian mereka lebih ''terbuka?"
"Di musim panas pun yang pakai penutup wajah itu tetap menutup wajah. Yang pakai kerudung dan tidak pakai kerudung yang lebih bebas," katanya. Maksud ''lebih bebas'' adalah: mereka berani pakai celana jeans, baju kaus, dan rambut tanpa penutup.
"Jadi, soal wanita itukah yang membuat Anda begitu ingin ke kota ini?" tanya Harun diam-diam.
Saya hanya mengangguk. Dalam hati.
"Saya pikir sudah banyak wanita yang pakai you can see," tambah saya pada Harun.
Harun tampak tertawa kecut. Seperti mengejek saya. "Yang tertutup itu bisa lebih menarik dari yang dibuka-buka," gumamnya.
Riyadh kota besar sekali. Selama dua hari itu saya ke sudut-sudutnya. Jangan dikira hanya ke stadion An Nassr dan stadion Al Hilal. Saya bukan fans Cristiano Ronaldo apalagi Neymar yang manja itu.