Orang Italia pernah menyombongkan diri ke orang Jerman: ketika pertama menggunakan teknologi mobil masuk gerbang tol tanpa berhenti. Si Jerman tinggal menjawab: kami tidak perlu gerbang.
Maafkan kalau Anda tidak bisa tersenyum membaca humor itu: saya mengakui kalah dari L-1301 soal menulis humor.
Jalan raya benar-benar mulus. Saya lihat jam di HP: hampir pukul 11.00. Sudah waktunya baca komentar para perusuh. Siapa tahu terhibur dan bisa senyum-senyum sendirian.
Ini bus tanpa lagu. Apalagi dangdut. Apalagi karaoke. Rasanya ingin mengundang Liam ke sini: agar nyanyi di bus ini.
Saya urungkan baca komentar. Pukul 11.00 itu masih pukul 15.00 waktu Indonesia. Kurang satu jam lagi. Agar yang kirim komentar sebelum pukul 16.00 masih bisa saya baca.
Saya pun pindah ke Google map: ini sudah sampai di mana.
Pertanyaan ''ini sudah sampai di mana'' itu sebenarnya pertanyaan –meminjam istilah beliau-- pertanyaan ''goblik''.
Untuk apa perlu bertanya sudah sampai di mana. Bus ini tidak lewat mana-mana. Sudah berapa jam pun melaju tetap saja baru sampai padang pasir. Atau gunung batu. Tidak bisa dibedakan sudah sampai di mana.
Kecuali, kelak, gunung batunya diberi nomor. Diberi nama ''asmaul husna'' pun tidak cukup banyak. Mungkin perlu diberi nama-nama tokoh wayang kulit.
Dari map itu akhirnya saya tahu: kelak akan ada 1000 kota yang dilewati. Nama salah satunya: Buraydah. Bus akan sampai Buraydah kira-kira setelah lima jam melewati padang pasir berbatu. Atau enam jam dari Madinah.
Membaca nama Buraydah itu tiba-tiba muncul panggilan hati: turun di Buraydah. Tidak jadi ke Riyadh. Bermalam di Buraydah dulu. Di pedalaman Arab Saudi. Ingin tahu: seperti apa kota di tengah padang pasir.
Tinggal atur siasat: bagaimana agar boleh turun di kota sebelum tujuan. Saya siapkan jawaban-jawaban dari berbagai kemungkinan pertanyaan.
Bus ini pasti berhenti di Buraydah. Ini kota besar. Sudah waktunya sopir istirahat. Atau makan. Kenapa tidak ada informasi apa pun soal bus akan berhenti di mana saja. Tapi saya maklum. Ini Saudi.
Go head. Saya pun lebih sering lihat map. Kian mendekati Buraydah kian kuat keinginan untuk turun di situ. Ke Riyadhnya bisa keesokan hari. Toh tidak ada janji bertemu dengan siapa pun di Riyadh.
Lalu terlihat bus keluar dari jalan raya. Saya tidak tahu itu di mana. Tidak ada jendela. Buraydah masih agak jauh –meski terlihat dekat di peta.
Saya intip dari jendela penumpang depan: ini masih padang pasir. Ini seperti rest area. Rest area pertama setelah perjalanan enam jam.