Ternyata kita tidak bisa naik kelas. Tidak pernah bisa. Kita begitu cinta pada kelas yang sama. Bahkan status ''cukup'' itu pun masih sering terganggu: harus impor.
Setiap presiden takut inflasi. Begitu muncul ramalan bahwa stok beras menipis keputusannya cepat: impor beras! Kalau tidak, akan inflasi. Harga beras sangat sensitif pada inflasi.
Data stok beras kita sangat terbuka. Memang harus terbuka. Para pedagang besar tinggal lihat: masih berapa juta ton cadangan beras kita. Begitu angkanya menunjukkan tinggal 1,5 juta ton, mereka nguping: kapan keputusan impor dibuat.
Keputusan itu biasanya diproses di Kemenko Perekonomian. Rapatnya berkali-kali. Menteri pertanian biasanya berbeda pendapat dengan menteri perdagangan.
Debatnya bisa keras.
Menteri pertanian biasanya tidak setuju impor: bela petani. Lalu dibuatlah simulasi inflasi. Kalau tidak impor inflasi akan menjadi berapa. Kalau impor hanya sekian juta ton inflasi berapa. Impor separonya bagaimana.
Maka keputusan impor beras tidak semata takut beras tidak cukup. Angka tipisnya stok sangat terkait dengan inflasi.
Katakanlah panen raya akan terjadi dua bulan lagi. Sepanjang jalan kita melihat tanaman padi sudah menghijau –pun di lahan milik orang PDI-Perjuangan. Hujan masih deras. Tampaknya tidak akan kekurangan air –doa kita. Tinggal hama dan pupuk.
Berarti negara harus punya stok beras untuk cukup dua bulan. Berapa juta ton?
''Timing'' impor beras sangat penting. Demikian juga jumlah beras yang harus diimpor.
Persoalannya: apakah pada saat kita perlu, lagi ada cadangan beras di Vietnam, Thailand, atau mana pun.
''Timing'' yang salah memang sangat fatal: inflasi melonjak. Celakanya lagi: kalau beras impor baru masuk di saat panen raya tiba.
Dua bulan ini, zaman dulu, disebut masa paceklik. Saya masih merasakan masa-masa seperti ini: hujan menggutus, kayu bakar basah, tidak punya beras, pisang yang buahnya masih muda tumbang, tanaman singkong baru berdaun 15, gapleknya kehujanan, perut sangat melilit lapar.
Belum ada bansos.(Dahlan Iskan)