Oleh: Dahlan Iskan
SETELAH sering jadi tamu giliran saya menerima tamu. Saat sebagai tamu saya sering diantar ke mana saja di sana. Kini saya mengantar mereka ke mana pun mereka mau.
"Kenapa mau ekspansi usaha di Indonesia?" tanya saya.
"Tinggal Indonesia dan India yang masih bisa diandalkan sekarang ini," ujar tamu saya itu. Mereka tiga orang. Dari kota Chengdu, provinsi Sichuan.
Maksudnya: Tiongkok sudah penuh. Terutama untuk mengembangkan bisnis yang sedang mereka kembangkan. Yakni bisnis kuliner. Buka restoran.
Negara lain lagi tidak punya perut sebanyak Indonesia. Maka tamu saya itu ingin membuka resto di Indonesia. Dia sudah punya 2.800 resto di berbagai kota di Tiongkok. Sudah pula membuka di enam negara sekitar.
Meski punya resto ribuan saya belum pernah tahu seperti apa resto milik mereka itu di sana. Memang masih tergolong baru: mulai berkembang pesat sejak lima tahun lalu. Jenisnya: hotpot.
Sebenarnya saya berjanji akan mampir ke restonya saat tahun baru lalu ke Beijing, Shanghai, Dongguan, dan Shenzhen. Tapi selalu tidak ada waktu. Atau lupa. Nama restonya pun belum melekat di ingatan saya.
Kalau di Beijing saya selalu saja sudah terobsesi masakan Xinjiang. Atau sate kambing di dekat masjid Niu Jie. Lalu Peking Duck di Qian Men, dekat Tian An Men. Atau jadwal saya sudah penuh dengan jamuan makan oleh relasi di sana.
Haidilao pun sudah tidak masuk daftar obsesi: sudah ada di Jakarta dan Surabaya. Ngapain menyesaki daftar Beijing Obsession. Pun Xiao Fei Yang. Aromanya terasa terlalu kuat. Mungkin bawaan bertambahnya umur.
Saya jadi belajar dari tamu itu: bagaimana memilih lokasi untuk buka resto baru. Ternyata mereka hanya mengincar satu lokasi: di dalam mal.
Maka mereka minta diantar ke mal paling ramai. Lalu mal yang baru. Sama sekali tidak minta diantar ke lokasi selain mal.
Mereka pernah saya ajak makan di resto independen. Di luar mal. Bertetangga dengan perumahan lama, di Dinoyo Surabaya. Larisnya bukan main. Cari tempat parkir pun sulit.
Di situ mereka menyenangi masakannya tapi tidak meminati lokasinya. Padahal sudah saya jelaskan: betapa bagus bisnis teman saya itu. Ia mampu membangun resto dua tingkat di atas tanah sewa 15 tahun. Pakai lift. Atas biaya sendiri. Di luar harga kontrak 15 tahun yang dibayar tiap lima tahun. Bayar di muka.
Mereka tetap pilih buka di mal.