"Pemerintah sudah menentukan standar durian musangking," katanya. Cara penyelidikan tanahnya standar. Cara pengolahan tanahnya baku. Cara tanamnya ditentukan. Pun cara pemupukan, pengaturan air, dan pemeliharaan. Sampai ke masalah panennya.
Standarisasi seperti itu yang belum ia lihat di Indonesia. "Saya sudah keliling dari Aceh sampai Sulawesi," katanya.
"Di Indonesia durian apa dan dari daerah mana yang paling enak?" tanya saya. Kepo.
Aziz terdiam. Lama. Seperti malas berpikir. Saya tahu: ia kesulitan menemukan jawaban.
"Mungkin Medan," jawabnya tanpa semangat.
"Bukan Jambi? Sorolangun?"
Ia kembali diam. Lama. Tidak ada komentar apa-apa.
"Sudah ke Kalimantan Barat?" tanya saya setengah protes.
"Belum," jawabnya.
"Ada yang bilang Musangking itu asal usulnya dari Kalbar," kata saya.
"Tidak mungkin," tegasnya.
Lalu Aziz bercerita mengenai leluhur Musangking. Ia menyebut satu pulau di tengah sungai Kelantan. Lebar pulau itu 500 meter. Panjang 2 km. Namanya: Pulau Raya. Lokasinya agak di pedalaman: 30 km dari muara sungai.
Tahun 1700-an, seorang pendatang dari Tiongkok merantau ke selatan. Ia memasuki sungai Kelantan. Sampailah ke pulau itu –belum bernama Raya. Pun belum ada nama Malaysia.
Di pulau kosong itu ia tinggal. Lalu kawin dengan wanita keturunan Thailand.
"Kok wanita Thailand?"
"Banyak wanita Thai di Kelantan. Kan dekat perbatasan," katanya. "Dan lagi kalau kawin dengan wanita Melayu kan harus masuk Islam," tambahnya.