Pemerintah pun sudah menerbitkan regulasi berupa PP, surat edaran, Keppres, bahkan UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dengan turunannya PP 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.
Selain itu, pemerintah telah beberapa kali melakukan pendataan honorer dan dijadikan database Badan Kepegawaian Negara (BKN). Faktanya sampai saat ini belum tuntas juga, bahkan bertambah banyak masalahnya karena jumlah honorer membengkak.
"Saya kok melihat ini pola penyelesaian honorer mirip-mirip ya. Namanya aja yang berubah, tetapi polanya tarik ulur," kata Masudi.
Sebenarnya, ujar Masudi, pemerintah sudah punya kemampuan sistem digital melalui program-programnya yang hebat. Tinggal buka dokumen semua data sudah terpampang.
Menurut Masudi, merevisi regulasi atau membuat aturan baru, sah-sah saja. Namun, jangan sampai nanti akibat bongkar pasang dampaknya malah membuat masalah makin rumit dan menjadi berlarut-larut sesuai pengalaman di tahun-tahun sebelumnya.
Dia mencontohkan kebijakan yang sedang dibahas sekarang, karena data honorer melambung akhirnya prosesnya jadi berliku-liku. Padahal, jika patokannya database BKN pada 2014, maka jumlah honorer K2 tinggal sedikit sekitar 400 ribu.
"Kami heran dengan pemerintah ini, kok suka menambah masalah baru. Kalau tegas mengikuti regulasi enggak akan jadi 2,3 juta honorer,' tegasnya.
Pemerintah lanjut Masudi, seakan-akan membuka keran baru honorer dan ujung-ujungnya mengeluh.
Seharusnya yang diselesaikan pemerintah tinggal honorer K2. Honorer yang diangkat di atas tahun 2005 tidak diurus karena menyalahi regulasi. Sekarang malah dibuatkan regulasi baru lewat UU ASN 2023 yang mana tenggat penyelesaian 2,3 juta honorer sampai 31 Desember 2024.
"Kami honorer K2 kembali meminta pemerintah tolong selesaikan kami ini. Honorer K2 utang pemerintah dan jangan hanya fokus kepada guru dan penyuluh. Tenaga teknis administrasi menunggu regulasi juga," pungkas Masudi. (esy/jpnn)