ASAS DOMINUS LITIS

Senin 17 Feb 2025 - 23:00 WIB
Editor : Firman Halawa

Penulis : Dr. Firman Halawa, S.H.,M.H (Praktisi Hukum)

Belakangan ini di berbagai media sosial dan elektronik berkembang pandangan beberapa pakar, pemerhati atau praktisi hukum yang membahas dan mempersoalkan tentang Asas Dominus Litis Jaksa. Persoalan tersebut belakangan ini mencuat seiring bergulirnya revisi UU Kejaksaan ataupun pembahasan RUU KUHAP yang terus menuai kontroversi.  Padahal, penerapan asas Dominus Litis sejatinya telah berjalan selama ini. Secara etimologis, “dominus” berasal dari bahasa Latin, yang berarti “pemilik”, sedangkan“litis” artinya “perkara”. Sehingga, jika diterjemahkan “dominus litis” berarti “pemilik perkara”. Sebagai pemilik perkara membawa konsekuensi sebagai “pengendali perkara”. Konsekuensi dari prinsip ini, bahwa penuntut umum merupakan pengendali perkara dan satu-satunya badan yang berwenang untuk menentukan suatu perkara layak atau tidaknya dilimpahkan ke pengadilan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP). Hal ini diatur dalam pasal 110 KUHAP berbunyi : “(1) Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, (2) Jika Penuntut Umum berpendapat hasil penyidikan masih kurang lengkap, penuntut umum dapat mengembalikan berkas perkara kepada penyidik. Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 138 KUHAP  berbunyi : (1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik segera mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah lengkap atau belum. (2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut umum”. Kata “meneliti” dalam rumusan Pasal 138 ayat (2) KUHAP tersebut sebagaimana dalam penjelasan pasal tersebut adalah tindakan penuntut umum dalam mempersiapkan penuntutan apakah orang dan atau benda yang tersebut dalam hasil penyidikan telah sesuai ataukah telah memenuhi syarat pembuktian yang dilakukan dalam rangka pemberian petunjuk kepada penyidik.

Kewenangan sebagai pemilik / pengendali perkara dimaknai sebagai upaya sistematis yang dilakukan Kejaksaan (Penuntut Umum) sebagai bagian dari sistem peradilan pidana untuk memastikan kesempurnaan proses dan hasil penyidikan untuk keberhasilan Penuntutan perkara ketika nantinya diajukan ke persidangan. Keberhasilan penuntutan perkara di persidangan terletak pada kematangan dan kesempurnaan hasil penyidikan yang dilakukan penyidik dengan bukti-bukti yang cukup sehingga konstruksi perkara terbangun secara utuh, alat bukti cukup, peran pihak-pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya tindak pidana dapat terungkap secara terang benderang. Tentunya kita teringat dengan kasus pembunuhan berencana yang dilakukan Ferdy Sambo dkk yang menggegerkan seantero tanah air dimana awal penyidikan seolah digiring kepada suatu fakta yang tidak sesuai kenyataan dan apabila skenario tersebut berlanjut maka actor intellectual tidak akan terungkap. Disinilah peran strategis berfungsinya asas dominus litis kejaksaan untuk melakukan penilaian atas suatu hasil penyidikan yang tertuang dalam berkas perkara yang diserahkan oleh Penyidik. Jika hasil penyidikan masih kurang lengkap atau tidak sempurna, maka tugas Penuntut Umum untuk mengembalikan hasil penyidikan yang tertuang dalam berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk untuk dipenuhi. 

Selanjutnya setelah hasil penyidikan telah dinyatakan lengkap, maka Penuntut Umum berdasarkan pasal 139 KUHAP  berbunyi : “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera, menentukan apakah berkas perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan”. Lebih lanjut dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 dalam pertimbangannya mengemukakan : “Berkenaan dengan Pasal 139 KUHAP, Mahkamah berpedapat, norma Pasal 139 KUHAP memberikan kewenangan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk memberikan penilaian terhadap berkas perkara yang dinyatakan lengkap ada/tidaknya alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar bagi jaksa penuntut umum untuk menetapkan berkas perkara yang telah lengkapt tersebut dapat diajukan/dilimpahkan ke pengadilan. Hal tersebut adalah berkaitan dengan kewenangan kejaksaan yang dapat menghentikan atau mengesampingkan sebuah perkara meskipun perkara tersebut telah dinyatakan lengkap.

Beberapa pakar menilai bahwa penerapan asas tersebut berpotensi menciptakan monopoli kewenangan oleh Jaksa yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan hukum dan seolah menempatkan Jaksa seolah berada pada posisi yang lebih tinggi dari penegak hukum lainnya. Ada juga yang berpandangan bahwa penerapan asas tersebut tidak perlu diterapkan pada tindak pidana umum melainkan hanya pada tindak pidana korupi karena  berpotensi mengganggu proses penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian, yang harus berlangsung secara profesional dan proporsional. Kekhawatiran pihak-pihak tertentu atas penerapan asas dominus litis beresiko melucuti kewenangan kepolisian (penyidik) dan hakim dan terkesan terjadinya intervensi dalam proses penyidikan yang dilakukan kepolisian (penyidik), bahkan ada yang berpandangan menjadikan kejaksaan menjadi lembaga super body.. Perbedaan sudut pandang merupakan hal yang lumrah, akan tetapi kekhawatiran yang berlebihan tanpa alasan dan argumentasi yang objektif dan logis  akan mengaburkan persepsi publik terutama kalangan awam. 

Eksistensi penerapan asas dominus litis pada hakekatnya tidak perlu diperdebatkan karena prakteknya hal ini juga sudah berjalan sejak KUHAP diberlakukan sejak tahun 1981  sebagaimana kewenangan Penuntut Umum telah ditentukan dalam Pasal 110, 138, 139 KUHAP sebagaimana dijelaskan di atas yang memberikan kewenangan kepada Penuntut Umum untuk memeriksa dan menilai hasil penyidikan yang dilakukan penyidik sebagaimana yang tertuang dalam berkas perkara. Penerapan asas dominis litis juga tidak berarti mengambil alih atau meniadakan kewenangan kepolisian (penyidik) karena sekalipun menurut Penuntut Umum berkas perkara masih belum lengkap, penuntut umum mengembalikan berkas perkara dan memberikan petunjuk untuk dipenuhi oleh penyidik. Dalam konteks yang demikian maka tidak ada dominasi kewenangan atau kekuasaan melainkan koordinasi dan sinergitas atas prinsip kesetaraan dalam sistem peradilan pidana. Sehingga penerapan asas dominus litis Kejaksaan (Penuntut Umum) tujuannya untuk kesempurnaan penyidikan dan dengan sendirinya memperkuat serta memastikan keberhasilan penuntutan perkara yang dilakukan Penuntut Umum  ketika nantinya diajukan ke persidangan. Keadaan yang demikian juga tidak menimbulkan adanya monopoli kekuasaan karena penyidikan terutama tindak pidana umum tetap menjadi tugas dan kewenangan kepolisian (penyidik), tidak ada dominasi kekuasaan seolah Kejaksaan (Penuntut Umum) lebih tinggi kedudukannya dari kepolisian (penyidik) karena koordinasi yang terbangun antara penyidik dan penuntut umum dalam proses penegakan hukum sebagai satu kesatuan sistem peradilan pidana memegang teguh prinsip kesetaraan dan keseimbangan kelembagaan. Juga tidak ada intervensi kewenangan penyidikan karena penyidikan tetap merupakan kewenangan penyidik secara independen dan objektif. Tetapi terhadap hasil penyidikan dari penyidik maka penuntut umum memiliki kewenangan untuk meneliti dan menilai hasil penyidikan apakah sudah cukup lengkap atau tidak, baik kelengkapan formil dan materiil, kecukupan alat bukti dan pertanggungjawaban pidana pihak-pihak yang terlibat. Sehingga kewenangan penuntut umum tidak dipersepsikan melakukan intervensi dan menentukan arah penyidikan dalam konotasi negatif yang diasumsikan bahwa penuntut umum berkepentingan secara subjektif atas perkara dan dapat mengkondisikan penanganan perkara sesuka hati. Melainkan harus dimaknai dalam  konteks keberhasilan penuntutan dengan memastikan hasil penyidikan sudah lengkap, sudah sesuai dengan fakta-fakta hukum, telah cukup alat bukti, peran pihak-pihak yang terkait untuk dimintai pertanggungjawaban pidana sudah terungkap secara jelas dan terang. Dengan demikian, jika suatu ketika timbul kegagalan atau ketidaksempurnaan pada tahap penuntutan, maka hal tersebut juga berarti kegagalan atau ketidaksempurnaan pada tahap penyidikan.  Sebaliknya, ketidaksempurnaan berkas perkara hasil penyidikan dapat menggagalkan atau mengakibatkan penuntutan yang tidak optimal dilakukan oleh Penuntut Umum. Disinilah pentingnya penerapan dominus litis secara konkrit oleh Penuntut Umum yang idealnya menjangkau fungsional tindakan penyidikan oleh penyidik dalam konteks mengoptimalkan penyelesaian penanganan perkara, bukan mencampuri kewenangan institusional kepolisian, 

Selanjutnya apabila pada akhirnya hasil penyidikan dalam berkas perkara tidak cukup bukti untuk membuktikan kesalahan Tersangka/Terdakwa maka jika dipaksakan dilimpahkan ke pengadilan untuk diadili oleh hakim akan beresiko kegagalan penuntutan dan Terdakwanya diputus bebas (vrijspraak) atau jika benar suatu peristiwa terjadi tetapi bukan merupakan suatu tindakan pidana maka akan bersiko perkara tersebut diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). Dalam kondisi tertentu sesuai hukum terdapat alasan-alasan yang meniadakan penuntutan sebgaimana diatur dalam KUHPidana yaitu ne bis in idem, lampau waktu/kedaluarsa, terdakwa meninggal dunia, penyelesaian di luar proses peradilan, pencabutan pengaduan (delik aduan) sehingga Penuntut Umum dapat mengeluarkan Ketetapan penghentian penuntutan. Bahkan jika berkas perkara (hasil penyidikan) sekalilpun telah lengkap, berdasarkan Pasal 139 KUHAP memberikan kewenangan kepada jaksa penuntut umum untuk menilai apakah perkara tersebut memenuhi syarat atau tidak untuk dilimpahkan ke Pengadilan, termasuk penghentian penuntutan karena upaya restorative justice, sehingga Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewenangan untuk menghentikan penuntutan dengan menerbitkan Ketetapan Penghentian Penuntutan. Maka ketika kewenangan penghentian penuntutan digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan alasan-alasan secara hukum sebagaimana dijelaskan di atas, tidaklah berarti mengambil alih kewenangan hakim dalam mengadili dan memutuskan perkara, kecuali apabila perkara telah dilimpahkan ke Pengadilan maka sepenuhnya menjadi kewenangan hakim untuk memeriksa dan mengadili serta menjatuhkan putusan.  Praktek penerapan dominus litis Kejaksaan yang telah berjalan selama ini dan telah berlangsung baik. Penguatan kelembagaan dan fungsionalisasi lembaga penuntutan melalui penerapan dominus litis dengan keterlibatan sejak tahap penyidikan dapat menjadikan penanganan dan penyelesaian perkara semakin lebih baik, lebih optimal dan ideal.

Tags :
Kategori :

Terkait